Selasa, 10 Juli 2012

Amanah yang berat

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk yang lainnya. Manusia diciptakan Allah dengan banyak potensi yang dimilikinya. Tetapi kelak manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas semua itu.

Contoh kecil ketika si A menitipkan/mengamanahkan suatu barang kepada si-B. si-B ternyata malah merusak barang tersebut. Dia tidak menjaganya. Tentu saja si A akan sangat marah kepada si B.
Begitu juga Allah SWT. yang telah memberikan kepada manusia anugerah yang sangat besar, lalu jika manusia tidak mempergunakan anugerah itu di jalan-Nya. Tentu Allah kelak akan menghukum kita.

Allah telah menciptakan manusia dengan sebak-baiknya bentuk. QS. At-Tin (95): 4-6, disebutkan dalam ayat tersebut bahwa manusia diciptakan dengan bentuk yang sebaik-baiknya, lalu dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang yang beriman dan yang beramal shaleh, bagi mereka adalah pahala yang tiada putus-putusnya..

Manusia yang telah diciptakan dengan sebaik-baik bentuk itu kelak akan dimasukkan ke neraka. Kenapa??

Dalam ayat lain disebutkan bahwa Allah telah memberikan manusia tiga potensi.

- sam'un (pendengaran), kalimahnya bukan udzunun yang berarti telinga, sebab Allah tidak memberikan hanya sebatas telinga, tetapi pendengaran yang harus digunakan di jalan yang diridhoi Allah.. begitu juga dengan...
- abshoro (pengelihatan), bukan ainun
- af'idah (hati), bukan qolbun

Itu semua adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di hari nanti.

Dalam QS. Al-Ahzab (33): 72 disebutkan bahwa Allah telah memberikan amanah (berupa tugas-tugas keagamaan) kepada manusia. Sedangkan langit, bumi dan gunung menolaknya..
Dalam QS. Al-Baqoroh (2): 30 disebutkan juga bahwa manusia diturunkan ke bumi adalah sebagai khalifah (pemimpin).

Jadi sangat jelas bahwa tanggung jawab kita sebagai manusia sangat besar. Amanah yang kita tanggung adalah sangat berat. Jika kita tidak menjalankan amanah tersebut, kita akan dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya yakni neraka! Kita diberi telinga, mata dan hati, semuanya adalah untuk berjuang di jalan Allah. Jika kita hanya memungsikan semua itu hanya untuk kesenangan dunia, apa bedanya kita dengan hewan??. Kita bisa jadi lebih hina daripada hewan jika kita menjadi pengkhianat terhadap amanah yang telah diberikan Allah.. Dalam Al-Qur'an disebutkan ada delapan jenis:
1. Seperti binatang ternak (QS. Al-A'raf(7):179)
2. Seperti Anjing , QS. Al-A'raf (7): 176
3. Seperti anjing dan babi QS. Al-Maidah (5): 65
4. Kera yang hina QS. Al-Baqoroh: 65
5. Kayu yang tersandar QS. Al-Munaafiqun (63):4
6. Seperti batu QS. Al-Baqoroh: 74
7. Seperti laba-laba QS. Al-Ankabut (29): 41
8. Seperti keledai QS. Al-Jumu'ah : 5

Demikian... Wallahua'lam...



Sabtu, 07 Juli 2012

Pentingnya Niat

Niat itu sangat penting..

Ketika beberapa orang melakukan suatu amal ibadah, walaupun gerakannya sama, lamanya sama, waktunya sama, tetapi tetap dihadapan Allah berbeda... Kenapa??

Kadar niatlah yang menentukan!

"Beberapa amal itu kelihatannya amal akhirat, tetapi menjadi amal dunia karena jeleknya niat. Beberapa amal itu juga amal dunia, tetapi jadi amal akhirat karena bagusnya niat."

Contoh:
Amal Akhirat jadi amal dunia..
Sholat adalah amal akhirat. Sholat adalah ibadah yang paling utama. Barangsiapa melaksanakannya, ia akan mendapatkan pahala. Namun Sholat menjadi tidak berarti apa-apa kalo niatnya salah, atau karena tidak karena Allah. Contohnya nii ada seorang pemuda Shalatnya di bagus-bagusin soalnya ada pacarnya yang ngeliat.. nah itu lah amal akhhirat yg mnjadi amal dunia. jadi gak berarti apa-apa dihadapan Allah SWT. Dan banyak lagi contoh yang lainnya..
Amal dunia jadi amal akhirat..
Makan itu amal dunia.. tetapi jika seseorang makan dengan diniati karena Allah, makan supaya dia kuat untuk beribadah kepada Allah, maka makan pun menjadi bernilai ibadah dihadapan Allah...
Tidur juga.. Kalo tidur diniati istirahat karena Allah, supaya besok pagi tidak telat melaksanakan Shalat Subuh atau Tahajjud misalnya, maka tidurnya pun akan dihitung sebagai suatu amal akhirat yang bernilai ibadah dihadapan Allah...

Innamal A'maalu binniaat......

Jadi apapun yang kita lakukan.. Mari kita benarkan niat kita. Ketika kita hendak nuntut ilmu, niatkanlah berjuang di jalan Allah, untuk menghilangkan kebodohan, dan sebagainya. Ketika kita hendak ikut pengajian. Niatkan juga karena Allah. Jangan karena yang lain.. Dengan begitu Insya Allah setiap langkah kita di dunia akan dihitung sebagai suatu ibadah terhadap Allah SWT dan kelak akan mendapatkan Surga-Nya.. Amiin.
Wallahua'lam...

Selasa, 03 Juli 2012

Bunga Zahra


Senin, 13 Juni 2011.
Cahaya putih terlihat melintang mengikuti garis lintang di ufuk sebelah Timur. Fajar Shiddiq telah terbit. Menandakan waktu subuh telah datang. Suara merdu Ustadz Hasan terdengar mengumandangkan adzan. Santri-santri yang masih tidur segera dibangunkan oleh para ustadz yang menjadi keamanan.
 Sebelum ada sorban keamanan yang memecutku, aku sudah bangun. Aku mencoba mengumpulkan ingatanku. Semalam aku bermimpi lagi, mimpi tentang Ibuku. Di mimpi itu dia datang ke pesantrenku, dia menjengukku.  Ibu datang, begitu aku menghampirinya, Ibu malah pergi. Ibu pergi sambil tersenyum padaku, tanpa berkata apapun. Aku memanggil, aku mengejar, aku mencoba meraih tangan Ibu, tapi tak bisa. Ibu malah semakin menjauh. Entahlah, mimpi itu tidak seperti alam nyata. Akal kadang tak bisa mencerna kejadiannya. Kini diriku ada di alam sadar. Kini aku teringat akan Ibu. Aku rindu padanya. Sudah hampir enam bulan aku tidak pulang ke rumah, aku masih disini, aku masih menjadi santri, di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Kepalaku pusing, badanku lemas, padahal di sekolah hari ini masih berlangsung Ujian Akhir Semester. Tepatnya hari ke sepuluh. Aku tak tahu kenapa, mungkin gara-gara semalam aku terlalu keras belajar. Ah, tidak juga, aku justru lebih banyak mengobrol bersama Rozak, teman sekamarku dari Sumatra. Buku pelajaran Biologi, Ushul Fiqh dan Tafsir Ahkam yang akan diujikan hari ini hanya kubuka sesekali. Semalam aku tidak terlalu nafsu belajar. Tetapi tetap saja aku berharap ujian nanti berjalan dengan lancar.
Mungkin aku terlalu banyak pikiran. Itu karena aku terlalu aktif di Pondok. Terutama di organisasi. Sekarang jabatanku dua, di OSIS yang ada di sekolah aku menjadi sekertaris umum. Di HISPA alias Organisasi Daerah Himpunan Santri Pasundan yang ada di pondok aku menjadi ketua. Belum lagi aku juga mengikuti ekskul-ekskul yang lainnya. Di dalam itu semua terdapat masalahnya  masing-masing. Hingga membuatku pusing tujuh keliling. Aku sering dikritik, bahkan dicaci oleh para senior-senior, baik di ORDA, maupun di OSIS. Mereka bilang aku tidak becus memimpin, aku kurang tegas, aku sering tidak fokus, dan sebagainya.
Aku awalnya hanya menjadi sekertaris di OSIS. Sampai akhirnya Kak Iyan, ketua HISPA sebelumku waktu itu menunjukku menjadi calon ketua. Segala macam protes telah kuajukan. Tapi apalah daya, Kak Iyan bilang, “Kamu itu udah dipilih sama para senior, jadi gak bisa diganggu gugat. Kamu juga kulihat udah punya wibawa di mata anak-anak HISPA. Kamu itu lebih pantas di HISPA daripada di OSIS. Nanti kalau seandainya kamu kepilih, OSIS gampang, aku nanti yang bilang ke Bapak Pembina OSIS buat minta kamu dimundurin dari jabatanmu.”
Waktu berlalu, aku terpilih menjadi ketua HISPA, aku dan Kak Iyan berusaha agar aku bisa mundur dari jabatanku di OSIS. Alasannya tidak lain adalah supaya aku benar-benar fokus di HISPA. Tapi ternyata tidak. Bapak Pembina tidak mengizinkan. Akhirnya sekarang, aku memegang dua jabatan yang semuanya berat untuk kupegang.
            Aku berusaha kuat menghadapi itu semua. Disini aku belajar untuk dewasa. Aku berada jauh dari rumah, jauh dari orang tua, dan jauh dari ke lima adikku yang sangat kucinta. Aku anak pertama. Lagipula sebentar lagi aku pulang. Ya, lima hari lagi libur semester telah datang. Itu berarti dua tahun sudah aku menuntut ilmu di pesantren ini. Sebentar lagi aku memasuki tahun terakhir.
Begitu cepat waktu berlalu, begitu lambat aku mengejar ilmu. Aku mulai merenung. Selama ini apa yang telah kudapat dari pondok ini? Apakah aku sudah bisa berguna di masyarakat? Apa ilmuku sudah banyak? Atau aku nanti justru akan membuat malu karena tidak bisa apa-apa? Tidak! Aku tidak mau seperti itu. Orangtuaku sudah banyak berkorban untukku, mengirimiku bekal yang tidak sedikit setiap bulan untuk mencukupi semua kebutuhanku. Walau kadang sering telat kiriman itu datang, tidak pantas rasanya jika aku malah menyia-nyiakan waktuku hanya untuk bersenang-senang. Aku harus berusaha membanggakan mereka.
            Aku kembali teringat Ibu. Ibu kini sedang mengandung adikku yang ke tujuh. Selama di pondok ini aku hanya dua kali menghubungi Ibu. Itupun waktu aku masih kelas satu. Dan setiap aku menghubunginya, Ibu pasti terdengar menangis. Aku tahu, Ibu mungkin sedih ditinggal anak kesayangannya, Ibu mungkin khawatir karena aku mondok di tempat yang ratusan kilometer jauhnya dari rumah. Padahal di rumah aku sadar, aku sering berbuat salah terhadapnya.  Tapi Ibu tak pernah marah. Ibu tak pernah memukulku dengan tangannya. Bagaimanakah kabar Ibu sekarang? Kenapa aku tiba-tiba selalu memikirkannya? Hmm, Entahlah.
***
            Kamis, 16 Juni 2011.
            Setiap akan datang libur panjang, setiap organisasi daerah di pondok ini pasti bersiap-siap untuk mengadakan rombongan pulang. Ada yang memakai bis, ada juga yang memakai kereta. OPI DKI, ORDA-nya santri-santri Jakarta kulihat sudah memasang pengumuman dengan karton besar di mading pesantren. Mereka berusaha agar warganya tertarik untuk ikut rombongan pulang bareng yang mereka adakan. ORDA KSHC, dari Cirebon, RIM dari Jawa Tengah, dan banyak lagi yang lainnya juga saling berlomba-lomba untuk menarik warganya untuk ikut menyemarakan pulang bareng ini. ORDA-ku, HISPA juga tak mau kalah. Aku sebagai ketua telah mempersiapkan semuanya. Membentuk kepanitiaan, menunjuk ketua panitia, mengawasi mereka bekerja, menariki anak-anak yang akan pulang ke tanah Pasundan uang lima puluh ribuan, dan sebagainya. Hanya lima puluh ribu, murah memang, karena hanya memakai kereta ekonomi Kahuripan. Tetapi menyenangkan karena didorong oleh rasa kebersamaan. Walaupun ada diantara kami yang manja dan memiliki banyak uang memilih naik kereta yang lebih mahal harganya dan tidak ikut rombongan.
            Tidak terasa hari ini adalah hari terakhir ujian.  Dua hari lagi para santri diperbolehkan untuk pulang. Lega rasanya, walau capek karena harus mengurusi ini dan itu, terutama mengurus rombongan pulang bareng. Aku segera mengirim pesan ke Bapak lewat ponsel. Memberi tahu kalau anak pertamanya ini dua hari lagi akan pulang. Aku menunggu balasan. Selama ini Bapak tak pernah memaksaku untuk tidak pulang. Aku banyak mendengar ada temanku tidak pulang karena dilarang oleh orangtuanya. Untunglah Bapakku tidak seperti itu. Tak lama Bapak pun membalas.
Klau bsok bsa gk pulangnya, Sep?
Aku membalas, “Bsok aku ngambil rapot pa, truz dpet tugas dr OSIS buat jadi pnerima tamu pas acara wisuda. Kenapa ath Pa?”
“Ibu sakit, Sep. Udah dua minggu di rumah sakit.”
Jantungku berdegup kencang, hatiku berguncang tak karuan. Ibu sakit. Padahal dia sedang mengandung tujuh bulan. Inikah arti mimpi-mimpiku di waktu malam. Inikah jawaban mengapa ku selalu teringat akan Ibu tersayang? Aku bimbang sekarang. Disini ada tanggung jawab yang harus ku selesaikan, sementara di rumah, keluarga menungguku untuk pulang. Manakah yang harus kupilih?
***
Sabtu, 18 Juni 2011.
Pagi itu setelah mengambil rapotku, aku segera bergegas ke lapangan SMA, tempat acara wisuda purna siswa dilaksanakan. Aku bertugas menjadi penerima tamu. Satu per satu tamu yang datang ku antar sampai ke tempat duduk mereka. Hingga tak terasa hari semakin siang, semakin panas. Aku sendiri kepanasan. Ingin rasanya melepas jas OSIS berwarna hitam yang kukenakan. Kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh. Aku bingung. Aku harus pulang hari ini. Aku harus melihat keadaan Ibu. Segera saja ku temui Dindin, ketua OSIS sekolahku yang juga merupakan orang HISPA alias orang Sunda juga.                       
“Din, aku mau minta izin.”
“Mau kemana, Sep?”
“Pulang, Din.”
“Hah, yang bener aja, Sep. Acaranya masih lama. Belum lagi di ORDA entar kamu ngurus rombongan kan? Kok pulang sekarang?” Dindin terlihat marah.
“Emm… Ibuku kritis, Din di rumah sakit,” kupasang wajah memelas.
Seketika muka marah Dindin pun meredup. Dia menarik nafas, “Terus tugasmu ini gimana, Sep?”
“Ya kalo ini cuma jadi penyambut tamu, Din. Tinggal diganti aja gampang kan? Terus kalau di HISPA aku udah bentuk panitia rombongan sendiri. Kuyakin mereka bisa tanpa aku.”
“Kamu yakin, Sep? Kalau sama senior-senior HISPA gimana? Udah izin belum? Pasti mereka kesel deh. Kamu itu udah banyak dikritik, Sep.”
“Hmm… tapi ini Ibuku, Din. Ibuku! Aku disuruh pulang sekarang.”
“Gak bisa besok aja, Sep, bareng sama anak-anak?”
“Gak bisa, Din. Aku takut kenapa-napa.”
“Hufh… Ya sudah, Sep. Hati-hati, ya!”
“Oke, Din. Makasih,” aku menyalami Dindin. Lalu bergegas menuju ke pondok untuk bersiap-siap.
Di kamar sepi, aku segera membersihkan diri, mengeluarkan isi lemari, baju-baju, sarung dan sebagainya aku masukkan ke dalam tas ransel yang akan kubawa pulang nanti.
Pukul setengah dua siang aku sudah siap berangkat ke stasiun. Aku lihat acara wisuda telah selesai, kakak-kakak kelasku yang baru saja diwisuda sudah kembali ke pondok. Aku bertemu dengan beberapa senior HISPA. Aku pamit pulang kepada mereka, mereka kaget, mereka memarahi, mereka memaki. Aku terima itu, aku jelaskan semuanya hingga akhirnya mereka pun mengerti. Mereka meminta maaf padaku, aku tidak marah pada mereka. Mereka pantas memarahiku, aku pun hanya meminta doa kepada mereka supaya Ibuku di rumah cepat diberikan kesembuhan.
Aku naik kereta Kahuripan. Kereta ini tidak berhenti di Stasiun Jombang. Jadi, aku dari Jombang harus naik bis ke Stasiun Kertosono. Di stasiun itulah aku naik kereta Kahuripan. Waktu itu tiket bisa dibeli langsung pada hari keberangkatan. Aku naik kereta dari Kertosono menuju ke kampung halaman, yakni Kota Garut yang indah, tentram aman dan nyaman. Seorang diri aku duduk berdesakan. Pikiranku mulai melayang. Aku kembali teringat Ibu. Aku terus berdoa untuknya. Aku juga teringat teman-teman di pondokku. Semoga saja mereka baik-baik saja tanpaku.
Aku kadang masih tak percaya dengan ini semua. Dulu aku adalah anak yang sangat pendiam. Aku jarang bergaul dengan teman. Tetapi setelah merantau jauh dari kampung halaman, aku mulai berubah. Aku jadi mengerti tentang arti persahabatan, pertemanan, dan kebersamaan. Di Pondok lah aku tahu itu semua. Aku yang dulu bisa dikatakan culun ini kini menjadi pejabat di dua organisasi besar. Mungkin jika aku bercerita kepada teman-temanku di kampung, mereka tak percaya. Mana mungkin anak sepertiku bisa memimpin. Mana mungkin orang sepertiku bisa mengatur warganya yang tak sedikit. Tapi inilah aku sekarang. Aku telah berubah. Aku sudah semakin kuat. Setidaknya lebih kuat daripada aku yang dulu, sebelum menyandang status santri. Dan akhirnya kusadari juga, masalah-masalah lah yang membuatku semakin kuat saat ini.
Aku pernah mengeluh dengan banyaknya masalah dan kesulitan yang menimpaku selama di pesantren. Di organisasi aku harus bisa bertugas menjalankan amanah dengan baik, di kelas orangtuaku juga menuntutku untuk jadi yang terbaik. Aku pusing, aku capek dengan itu semua. Kadang aku iri terhadap teman-temanku yang seperti tak punya beban, hidupnya santai, sering bermalas-malasan di kamar. Tetapi setelah seorang ustadz memberi nasihat kepadaku, aku akhirnya sadar.
“Inilah pesantren, Sep. Disini memang tempatnya kamu susah. Di sini memang tempatnya kamu sengsara. Kalau hidup di pondok pesantren pengen enak, mendingan kamu di rumah aja gak usah jauh-jauh kesini. Kamu gak usah banyak mengeluh. Jalanilah dengan didasari niat karena Allah. Semua kesulitan yang ada di Pesantren ini adalah untuk membuat kamu kuat. Ketahuilah, di masyarakat nanti tantangannya akan jauh lebih berat. Di sinilah kamu dilatih supaya kelak ketika kamu pulang kamu bisa menjadi kader muslim yang tangguh, yang dapat berguna di masyarakat.”
Aku mengangguk-ngangguk. Aku akhirnya termotivasi berkat nasihat itu.
***
            Akhirnya aku sampai di kampungku. Orang-orang kampung yang mengenalku sudah pasti menyambutku bak seorang pangeran yang baru saja pulang dari perjuangan. Mereka menyalamiku, tersenyum kepadaku, berbasa-basi padaku dan lain sebagainya.
            Aku sampai di depan pintu rumah. Aku masuk sambil mengucapkan salam. Terlihat Nenekku yang sedang menyuapi nasi adikku yang ke lima. Aku mencium tangan Nenek. Adik-adik kecilku yang melihat kakak kesayangannya ini pulang bersorak senang. Nenek tersenyum.
“Ibu gimana, Nek?”
Nenek menarik napas, garis wajahnya jelas menggambarkan kesedihan, “Sabar ya, Sep. Ibu kamu masih kritis. Katanya harus dioperasi. Nenek juga bingung. Kalau Ibu gak ada, gimana adik-adik kamu ini, Sep…,” suara Nenek tertahan, beberapa butir air keluar dari ujung matanya. Aku bisa merasakan kesedihannya. Hatiku juga sakit mendengar kata-katanya, sementara adik-adikku masih belum mengerti apa-apa. Mereka hanya terus bertanya, “Kapan ibu pulang?”
“Kenapa aku gak dikasih tahu dari dulu, Nek?”
“Mungkin kamu lagi ujian, Sep. Jadinya Bapak gak ngasih tahu, biar kamu konsen.”
“Hemm…,” aku akhirnya hanya diam termenung.
***
Kamis, 23 Juni 2011.
Beberapa hari dilewati dengan penuh rasa sedih, tegang, dan bimbang. Berbagai doa telah dipanjatkan. Berbagai usaha telah dilaksanakan. Hingga akhirnya tiba saat-saat penentuan. Hari ini Ibu akan dioperasi. Operasi yang akan menentukan hidup dan mati. Aku tak henti-hentinya berdoa dalam hati. Aku belum sanggup kehilangan Ibu. Aku belum bisa membanggakan Ibu. Aku belum bisa membahagiakan Ibu. Ya Allah, tolonglah Ibuku. Selamatkanlah dia.
Aku hanya menunggu di rumah. Aku harus menjaga adik-adikku. Aku tak ikut ke RSUD Garut tempat Ibuku dirawat. Yang kulakukan hanyalah menunggu dan menunggu dengan perasaan yang tak menentu. Berkali-kali aku hubungi Bapak, “Pak gimana?” Bapak hanya menjawab, “Belum, Sep,” lalu aku kembali menunggu.
Beberapa lama kemudian akhirnya Bapak yang menghubungiku lewat sms.
“Sep, Alhamdulillah. Ibu selamat. Adik kamu perempuan.”
“Wah, yang bener Pak?”
“Iya, Sep.”
Rasa lega memenuhi dada. Segala perasaan sedih, tegang, khawatir dan lain sebagainya hilang seketika. Berganti dengan perasaan haru dan bahagia. Desah syukur tak henti terucap dari tiap orang yang mengetahui kabar Ibuku. Akhirnya tidak sia-sia segala usaha dan doa. Semua berakhir dengan bahagia.
“Tapi Ibu masih kritis, Sep.”
Rasa khawatir kembali menyeruak. Ibu masih belum pulih. Aku kembali terus berdoa memohon kesembuhan untuk Ibu. Aku yakin Ibu akan sembuh. Aku harus yakin itu. Aku tidak boleh berpikiran negatif.
            “Tapi ibu pasti bisa sembuh kan, Pak?”
            “Iya, Sep. Doain aja!”
            “Adeknya entar dinamain siapa, Pak?”
            “Belum, Sep.”
            “Boleh gak, Pak kalau aku yang ngasih nama?”
            “Boleh aja, Sep.”
            Aku segera berpikir, mencari nama yang bagus untuk adik bungsuku yang baru lahir. Hingga akhirnya nama itu muncul di pikiranku. Segera jempolku bergerak cepat mengetik huruf demi huruf di ponselku.
            “Zahratussyita, Pak. Bunga di musim dingin.”
            “Wah, iya, Sep. Baguslah. Nanti Bapak pikirin lagi.”
            Zahratussyita. Aku memberikan nama itu untuk adikku yang baru lahir. Dia lahir di tengah rasa khawatir, rasa sedih, dan rasa tegang orang-orang di sekitarnya. Dia bagaikan bunga yang tumbuh indah merekah di tengah dinginnya musim salju. Itulah alasan mengapa kuberi nama adikku dengan, Zahratussyita. Bunga di musim dingin. Bahagia sekali rasanya karena aku dapat memberi nama adik terakhirku itu. Semoga saja kelak adikku itu benar-benar selalu menjadi obat dari setiap penderitaan, cahaya di tengah kegelapan dan tentunya menjadi bunga yang indah disaat udara dingin musim salju menyerang.
***
            Sabtu, 16 Juni 2012.
            Tak terasa tiga tahun sudah aku menuntut ilmu di Pesantren ini. Kini giliran aku dan teman-teman seangkatanku yang diwisuda. Aku kini duduk bersama calon wisudawan yang lainnya. Rasa bahagia kini memenuhi dada. Kulihat wajah-wajah temanku juga cerah bercahaya. Tak ada yang menunjukkan wajah yang murung. Semuanya senang. Semua riang. Begitu juga aku. Hanya saja di hatiku masih ada yang mengganjal. Orangtuaku tak bisa hadir. Ibuku sudah jelas tak bisa hadir karena repot mengurus adik-adikku yang masih kecil, terutama Dek Zahra. Tapi yang paling membuatku sedih adalah Bapak yang katanya ketinggalan kereta. Bapak memang selalu sibuk mengajar kesana kemari. Bapak juga sering diundang untuk mengisi acara-acara keagamaan. Bapak bilang sebelum berangkat ia harus menjadi penceramah di sebuah acara Rajaban. Tapi sayang sekali setelah itu Bapak terlambat datang ke stasiun. Jadilah Bapak tak bisa hadir disini. Aku sempat kesal. Aku sempat marah. Kenapa disaat yang penting begini Bapak justru tak bisa datang? Aku hanya bisa mengelus dada. Aku tak percaya akan ini semua. Akhirnya kupasrahkan saja semuanya, aku percaya ini semua telah diatur oleh Yang Kuasa.
            Acara sambutan-sambutan telah selesai. Kini saatnya acara pengumuman siswa berprestasi atau pengumuman para wisudawan terbaik. Aku berharap akulah yang mendapatkannya. Selama ini peringkatku di kelas memang tak pernah keluar dari lima besar. Tetapi paling tinggi aku hanya mendapatkan peringkat ke tiga. Susah sekali rasanya untuk mencapai peringkat ke satu atau dua. Ya, paling tidak aku berharap akulah yang mendapatkan peringkat ke tiga di jurusan IPA ini. Meskipun sulit karena di sekolahku jurusan IPA itu ada dua kelas, yakni kelas putra dan putri.
Pak Sholeh, guruku mulai membacakan nama-nama siswa yang berprestasi. Tibalah saatnya siswa berprestasi di jurusanku.
            “Peringkat ketiga jatuh kepada….. Muhammad Aulanida….!” aku menarik dan membuang nafas panjang. Rasanya pupus sudah harapanku untuk mendapatkan predikat wisudawan terbaik. Aku merasa tak mungkin aku mendapat peringkat kedua, apalagi pertama.
            Pak Sholeh kembali lagi mengumumkan, “Peringkat kedua jatuh kepada….. Asep Muhammad Saepurrohman…!!”
Aku terperanjat kaget. Apakah aku yang dipanggil? Apakah aku mimpi? Teman disebelahku memukul pundakku.
            “Maju cepet, Sep! Selamet ya…!”
            Aku tak percaya. Aku berhasil meraih predikat wisudawan terbaik peringkat ke dua. Aku segera berdiri, aku berjalan maju naik ke panggung diiringi dengan suara gemuruh tepuk tangan. Aku berdiri, berjejer di atas panggung bersama teman-temanku yang terpilih menjadi wisudawan terbaik lainnya. Kuedarkan pandanganku ke kanan dan ke kiri. Andaikan Bapak dan Ibu lihat, mereka pasti memandangku dengan penuh rasa bangga. Tapi sayang mereka tak hadir disini. Aku ingin segera memberitahu Bapak dan Ibu. Apalagi Ibu. Ibu pasti senang sekali melihat anaknya berprestasi. Aku ingat bagaimana ketika Ibu kritis di rumah s akit. Aku sangat merasa kehilangan. Untunglah Ibu akhirnya dapat kembali pulang dengan kesembuhan, bersama dengan adik bungsuku, Dek Zahra yang sangat kusayang. Aku bersyukur. Dari situlah aku termotivasi untuk lebih giat belajar. Aku terus berusaha untuk membanggakan Bapak dan Ibu. Aku tak lagi mengeluh karena banyaknya kesulitan yang menimpaku. Aku percaya bahwa dibalik kesulitan itu ada kemudahan. Aku yakin itu! Aku telah merasakannya!
***

Garut, 04 Juli 2012
           
           

Jumat, 29 Juni 2012

BOYONG?

Boyong.. boyong.. sebuah istilah yang sering terdengar di pondok pesantren. Khususnya di Jawa Tengah atau timur. Kalo di Jawa Barat kayaknya gak pernah denger deh istilah itu..
Kalo menurut Prof. Dr. Asep Muhammad Saepurrohman (hehe.. amiin) itu berarti seorang santri yang keluar dari pondok pesantren, dan gak akan kembali menuntut ilmu disana.

Boyong ada dua. Ada santri yang boyong memang karena sudah tmat, aliyas sudah menyelesaikan pendidikan pesantrennya, ada juga yang memang tidak betah, atau karena ada hal lain sehingga dia keluar sebelum menyelesaikan pendidikan di pesantren tersebut.

Nah, kalo kayak gue ini, (cielahh,, gue bahasanyee,,,). Gue udah nyelesain satu jenjang pendidikan yakni di Madrasah Aliyah selama tiga tahun. Kemaren udah di wisuda. Terus... boyong deh... boyong????????  hiks.. hiks... (kok nangis?)

Dulu waktu aku pertama mondok (yahh skrang aku lagi bhasanya,,), pas waktu liburan datang (d.pondokku liburnya klo gk romadhon ea libur smester) aku pasti seneeeng banget. apa lagi kalo liburnya lama. Jadinya kan aku bisa pulang. Aku bisa kembali nginjak kampung halaman. Kumpul bersama keluarga tersayang.

Tapi sekarang....... beraaat sekali rasanya. Kenapa? ea mungkin karena aku gak akan kembali lagi kesini (pondok tebuireng maksudnya). Berat sekali rasanya untuk pulang. Meninggalkan semuanya yang telah menemaniku selama tiga tahun di perantauan. Kini ku harus pergi pulang. Dari Jombang, kembali ke kota Garut..

Banyak sudah pengalaman yang kudapatkan di Pondok Pesantren ini. Aku mendapatkan teman" yang hebat". Guru'nya juga gak usah diraguin lagi... Top banget deh. Sekarang aku sudah berubah. Tidak seperti dlu, Aku bisa jadi lebih dewasa. Lebih mengerti tentang perjuangan, lebih mengerti tentang arti persahabatan dan kebersamaan, lebih mengerti karakter tiap-tiap orang. Aku mendapatkan itu semua di Pesantren!

Kini ku melangkah pulang. Apakah aku boyong.. hemmm.. kayaknya kurang enak kalau disebut boyong. Aku hanya.... Pindah tempat belajarnya...

TERUS MENUNTUT ILMU SAMPAI KAPANPUN !!!

Selasa, 20 Maret 2012

MEMOAR AKHIR TAHUN




            Kamis, 5 Desember 2019.
            Siang itu, matahari tanpa ampun memuntahkan panasnya kepada mahluk-mahluk di tanah ini. Orang-orang yang ada disini – baik pribumi maupun pendatang pun mengeluh kepanasan. Tetapi mereka punya cara tersendiri untuk mengatasi semakin panasnya suhu bumi karena global warming. Sekarang banyak orang yang memakai lotion pelindung anti sinar UV untuk melindungi kulit dari ancaman kanker. Ada juga disini yang memakai topi, payung, ataupun jaket ber-AC yang mulai menjamur di pasaran pada akhir tahun 2019 ini.
            Seorang lelaki tampan dan gagah dengan postur tinggi besar berdiri beberapa meter di depan pintu gerbang. Dia mengenakan jaket ber-AC buatan Jepang yang memiliki sepasang baterai di sisi jaket yang mampu menarik udara dari luar dan mengisinya ke dalam sehingga akan terasa sejuk ketika memakainya. Dia juga memakai peci putih, kacamata hitam, celana jeans biru, dan tas ransel di punggungnya. Dia adalah Muhammad Bambang Febrianto.
            Untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun, akhirnya Bambang kembali menginjakkan kakinya di tanah ini. Dia masih saja berdiri menghadap ke pintu gerbang. Dia melepas kacamata hitamnya, lalu pandangannya mengedar ke sebelah kanan, lalu ke sebelah kiri. Dilihatnya tempat ini semakin ramai saja. Setiap hari tempat ini memang dikunjungi oleh lebih dari dua ribu peziarah yang datang dari berbagai daerah, dari berbagai suku dan dari berbagai macam latar belakang. “Banyak yang berubah selama aku pergi,” pikir Bambang.
            Bambang melangkahkan kakinya. Dia berjalan melewati pintu gerbang, memasuki area pondok pesantren bersama rombongan-rombongan peziarah lainnya. Dilihatnya gedung-gedung megah nan indah yang berdiri kokoh disekelilingnya. “Benar-benar sudah berubah,” gumamnya dalam hati.
            Setelah sampai di tempat yang menjadi tujuan utama, Bambang mengambil tempat yang kosong diantara para peziarah lainnya. Dia duduk bersila dan mulai melantunkan doa-doa yang dia tujukan kepada para kekasih Allah yang jasadnya kini terkubur di dalam tanah di hadapannya. Di hadapan Bambang kini terhampar makam orang-orang yang hebat dan luar biasa. Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Wahid Hasyim adalah dua orang pahlawan yang sangat  dikaguminya. Apalagi kepada seorang Gus Dur. Seorang tokoh yang sangat diidolakannya dari dulu. Sejak pertama mondok, dia sangat ingin bertemu dan mencium tangan orang yang diidolakannya itu.
            Mata Bambang kini berkaca-kaca. Air mata yang tak terbendung lagi perlahan keluar, mengalir membasahi pipi putih bersih Bambang yang tak pernah berjerawat. Terlintas di benaknya kenangan-kenangan indah ketika dulu selama tiga tahun dia menjadi santri di Pondok Pesantren Tebuireng ini. Dia ingat kepada teman-temannya yang dulu selalu menemaninya dalam suka dan duka. Dia rindu kepada dua orang sahabat terdekatnya dulu, Hasan dan Imam. Mereka berdua adalah sahabat terbaik Bambang ketika nyantri dulu. Apalagi Hasan yang selama ini sudah Bambang anggap sebagai saudara kandung sendiri. Bambang dan Hasan selalu saling memotivasi, saling menasihati dan saling memberi. Baru tiga hari yang lalu Bambang menghubungi hasan menggunakan Video Call. Hasan memberi kabar bahwa dia dan Imam sekarang sudah sukses menjadi pembina dan pengurus Pondok ini. Bambang senang mendengarnya. Sementara Imam entah kenapa tidak dapat dihubungi oleh Bambang. Bambang sudah tak sabar ingin bertemu dengan kedua sahabatnya itu. Dia mempunyai segudang cerita yang siap dia bagi kepada mereka berdua. Tapi entahlah, sejak sehari yang lalu Hasan pun tak bisa dihubunginya.
***************
            Kamis, 24 Desember 2009.
            Bambang baru lima bulan menjadi santri di Pondok Pesantren Tebuireng ini. Tapi dia sudah merasa sangat betah mondok disini. Dia tahu bahwa Pesantren Tebuireng sudah terkenal sebagai penghasil orang-orang yang sukses. Banyak alumni-alumninya yang menjadi orang besar. Pesantren ini juga adalah satu-satunya Pesantren yang di dalamnya terdapat dua makam pahlawan nasional yakni KH. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahid Hasyim. Bambang juga tahu bahwa Pesantren ini sangat sering dikunjungi oleh orang-orang ternama. Imam pernah bercerita kepada Bambang bahwa dia pernah mencium tangan Pak Jusuf Kalla. Begitu juga Hasan yang mengaku pernah berfoto dengan Bapak Menteri Agama, dan banyak lagi cerita-cerita yang Bambang dengar dari kakak-kakak seniornya. Bambang senang mendengarnya. Apalagi jika ada yang bercerita tentang Gus Dur, cucu dari Mbah Hasyim yang sangat  diidolakannya. Pastilah dia sangat senang mendengarnya. Beliau adalah satu-satunya tokoh yang sangat Bambang ingin temui sekarang. Dan dengan Bambang mondok di Pondok Pesantren ini, kesempatan untuk itu kian terbuka lebar.
            Angin malam berhembus kencang. Membuat daun-daun pohon di depan Wisma Saifuddin Zuhri bergoyang-goyang. Langit malam terlihat indah dengan bintang-bintang yang berkilauan. Saat ini jam di dinding kamar SZ 305 menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Seluruh penghuni kamar ini sudah tenggelam di alam mimpinya masing-masing. Kecuali tiga sekawan yang sama-sama mempunyai hobi bercerita yakni Bambang, Hasan dan Imam. Mereka bertiga masih saja asyik ngerumpi ngalor-ngidul. Berbagai macam hal mereka bicarakan. Adakalanya mereka tertawa bersama, adakalanya mereka memasang wajah serius dan adakalanya pula mereka saling terdiam mencari bahan omongan lain.
            “Eh, Bang, Zak ke makam yuk!” ajak Hasan kepada Bambang dan Imam.
            “Wah malas aku kalau sekarang, San,” kata Imam.
            “Iya, San. Mataku juga sudah sangat berat. Tak tahan lagi aku menahan kantuk,” Bambang pun menolak ajakan Hasan seperti halnya Imam.
            “Huh kalian ini. Tidakkah kalian ingat kata ustadz-ustadz disini, jika kita ingin sukses menuntut ilmu di pondok pesantren ini, kita harus rajin-rajin berjama’ah, taat aturan pondok dan juga sering berziarah ke maqbarah, mendoakan para ulama’ kita yang sudah wafat?”
            “Ah, kau ini, San. Sudah tahulah aku. Sudah berkali-kali aku mendengar nasehat itu dari ustadzku. Tapi sekarang aku sedang malas, San. Kau sendiri saja lah!” kata Imam.
            “Iya, San. Hooammh,…,” Bambang lalu membaringkan tubuhnya di kasur.
            “Huh, ya sudahlah,” Hasan bangkit. Dia memakai sarung hitam, baju koko dan peci putih, lalu ia keluar menuju maqbarah. Sementara Bambang dan Imam mulai memejamkan kedua matanya di kasur masing-masing. Kamar ini berubah menjadi hening. Hanya suara detak jarum jam dinding yang terdengar.
            Pagi harinya.
            “Haha… menyesalah kau, Bang. Tahu gak semalam aku bertemu dengan siapa?” kata Hasan sambil menepuk bahu Bambang.
            “Ketemu siapa memang? Paling-paling kau ketemu dengan peziarah perempuan yang cantik. Iya kan?” celetuk Bambang.
            “Astagfirullah... Bukan lah, Bang. Aku bertemu idolaku, Bang. Idolamu juga.”
            “Siapa?”
            “Gus Dur, Bang. Aku bertemu Gus Dur!”
            Bambang terperanjat kaget, “Hah? Yang bener aja lu?
            “Iya, Bang. Billahi, aku tidak berbohong.”
            “Tapi… bukankah beliau sedang dirawat di Rumah Sakit?”
            “Iya aku tahu, Bang. Beliau semalam berziarah ke makam dengan menggunakan kursi roda bersama dengan serombongan orang yang mengawalnya. Di tangannya kulihat juga masih ada perban bekas infusan. Aku lihat langsung, Bang! Aku lihat!”
            Bambang terdiam. Lalu... plokk. Dia menepuk jidatnya sendiri. Garis wajahnya jelas menunjukkan rasa penyesalan dan kekecewaan. Padahal dia sangat ingin bertemu dengan idolanya itu, tetapi begitu kesempatan itu datang, dia menyia-nyiakannya. “Ah, alangkah beruntungnya Si Hasan itu. Kenapa semalam aku menolak ajakannya?” pikir bambang.
            “Tapi tenang saja, kawan. Beliau bilang akan kesini lagi seminggu yang akan datang,” Hasan sedikit menghibur Bambang. Seketika wajah Bambang pun berubah menjadi senang.
            “Benarkah itu, San?”
            “Iya. Beliau sendiri yang bilang.”
***************
            Selama seminggu Bambang hanya menunggu dan menunggu. Dia berpikiran alangkah bahagianya dia jika bisa bertemu dan mencium tangan Gus Dur secara langsung. Setiap hari dia terus memikirkan Gus Dur. Dia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Gus Dur. Dia senang membaca artikel-artikel dan buku-buku tulisan Gus Dur. Dia senang melihat Gus Dur tampil di layar kaca. Apalagi kini kesempatan untuk bertemu langsung sangat terbuka. “Takkan kusia-siakan lagi kesempatan ini,” pikir Bambang.
            Satu minggu telah berlalu. Hari ini hari Rabu, 30 Desember 2009. Setelah selesai menunaikan shalat Isya’ berjama’ah ditambah dengan shalat ba’diyah di mesjid, sebagian besar santri kembali ke kamar masing-masing. Begitu juga Bambang. Setelah sampai di kamarnya, dia langsung merebahkan badan di kasurnya, melemaskan otot-otot yang sejak sebelum subuh tadi terus-menerus dia gunakan untuk beraktivitas. Ya, memang harus begitu jika ingin menjadi santri yang baik. Setiap santri harus mengikuti setiap kegiatan yang diwajibkan oleh pengurus pondok. Dari mulai melaksanakan shalat tahajjud, mengikuti pengajian Al-Qur’an ba’da subuh, berangkat ke sekolah masing-masing, mengikuti pengajian diniyah dan kegiatan-kegiatan lainnya. Jika ada santri yang tidak mau diatur dan tidak mau mengikuti kegiatan di pondok pesantren ini, maka bersiaplah dia untuk disidang dan dihukum oleh keamanan.
            Bambang bangkit lalu duduk sejenak. Diraihnya sebuah buku yang ditaruh di rak diantara buku-buku dan kitab-kitab yang lainnya. Belum sempat dia membaca habis satu halaman buku, Hasan tiba-tiba masuk ke dalam kamar dengan tergopoh-gopoh lalu berteriak kepada teman-teman sekamarnya, “Rek, ada kabar duka!”
            “Apa, San?”
            “Innalillahi... Gus Dur… Gus Dur meninggal!”
            Semua anak-anak yang ada di kamar itu seketika terperanjat kaget.
            “Kau… yang benar saja, San!” minat membaca Bambang langsung hilang. Dia tutup buku ditangannya lalu dia letakkan di atas kasur.
            “Iya lah. Buat apa juga aku berbohong. Aku dengar sendiri dari Ustadz Arif, Bang,”
            Serasa ada petir menyambar yang membuat hati seorang Bambang hancur berantakan. Dadanya sesak, serasa ditindih seekor anak gajah. Badannya lemas seketika. Kedua tangannya memegang kepalanya yang sudah tertunduk lesu. Tidak hanya Bambang, teman-temannya yang lain pun sama. Bagi mereka kehilangan seorang Gus Dur adalah sebuah musibah besar. Terlihat jelas ekspresi wajah mereka menunjukkan rasa kaget, tak percaya, dan tentunya rasa sedih yang mendalam. Terutama Bambang. Seminggu memang telah berlalu, dan apa yang dikatakan Gus Dur seminggu yang lalu memang benar adanya. Beliau memang akan kembali lagi kesini, tetapi dengan keadaan yang sama sekali tidak Bambang harapkan. Bambang masih berharap kalau ini semua hanya bohong. Ini tidak nyata. Tetapi tak lama kemudian suara pengumuman dari pengurus yang terdengar ke seluruh penjuru pondok membuat sisa-sisa harapannya sirna.
            “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun…Telah berpulang ke rahmatullah guru kita semua, KH. Abdurrahman Wahid…,” setelah mendengar kalimat itu, jadilah kini Bambang sebagai orang yang paling menyesal sedunia. Sirna sudah impian dan harapannya untuk bertemu Gus Dur secara langsung. Ternyata kesempatan itu hanya datang satu kali. Setelah ini kesempatan itu tak kan pernah datang lagi.
            Malam itu, malam penuh duka. Di Tebuireng ini sudah jelas semua orang berduka. Berita wafatnya Gus Dur sang Guru Bangsa dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Rakyat Indonesia pasti turut berduka karena kehilangan guru bangsanya. Pondok Pesantren Tebuireng kini disorot oleh berbagai media. Satu persatu mobil dari stasiun TV lokal maupun nasional berdatangan. Beberapa reporter dan kameramen turun dari masing-masing mobil. Mereka berlomba-lomba untuk meliput berita. Di dalam mesjid, seorang santri terus menerus melantunkan surat Al-Ikhlas dengan pengeras suara. Imam juga ada di dalam masjid bersama beberapa santri yang lainnya, mereka bergantian membaca surat Al-Ikhlas. Sementara di area pemakaman, segerombolan orang berkumpul. Mereka adalah pengurus pondok, santri, wartawan, juga masyarakat sekitar yang sengaja masuk ke dalam pondok. Bambang dan Hasan ada di antara mereka. Mereka berdua ikut membantu proses penggalian makam yang nantinya akan menjadi tempat peristirahatan Gus Dur yang terakhir.
            Setelah lubang makam selesai dibuat, Bambang berdiri terdiam sambil menatap kosong ke arah lubang tersebut. Dalam hati dia berkata, “Oh mimpikah aku? Nanti jasad Gus Dur akan ditempatkan disini. Di lubang yang sempit nan gelap dengan jasad yang hanya dibalut kain kafan. Lalu setelah jasad Gus Dur dibaringkan, lubang ini akan ditutup lagi . Tinggallah beliau sendirian di dalamnya. Dan akhirnya pupus sudah harapanku untuk bertemu dengannya. Aku takkan pernah lagi memiliki kesempatan itu. Tak kan pernah lagi!” Bambang mulai mengeluarkan air mata. Dia menangis, “Oh, kenapa dengan diriku ini? Kenapa ini semua terjadi? Kenapa waktu itu aku menolah ajakan Hasan? Kenapa kau ini Bambang?” Air mata Bambang mengalir semakin deras. Hasan menerobos kerumunan orang untuk mendekati Bambang.
            “Bang, ayo kita tidur! Badanku sudah pegal semua. Ini sudah jam satu lebih,” ajak Hasan.
            Bambang menghapus air matanya, “Ayolah,” Bambang akhirnya mengikuti ajakan Hasan.
            Bambang dan Hasan. Kedua sahabat ini berbaring di serambi mesjid dengan hanya beralaskan sajadah. Disamping mereka berdua ada Imam yang sudah dari tadi tertidur pulas disitu. Bambang dan Hasan terdiam menatap langit-langit. Surat Al-Ikhlas masih terdengar dilantunkan terus menerus oleh seorang santri di dalam masjid. Kedua sahabat ini termenung. Tenggelam dalam alam pikirannya masing-masing. Hembusan angin malam yang semakin kencang tak membuat mereka kedinginan. Sebagai santri mereka memang sudah terbiasa dengan hal seperti itu.
            “San, kau sudah tidur?” tanya Bambang.
            “Belum,” jawab Hasan sambil membuka kedua matanya kembali.
            “Kau tahu, San? Aku sangat menyesal tidak ikut denganmu waktu itu. Ahh, andaikan waktu bisa diputar kembali.”
            “Sudahlah, Bang. Tak ada gunanya kau terus menyesal. Jadikan ini semua pelajaran, Bang!”
            “Iya juga sih, San. Aku bertekad kuat sekarang,  San. Dua setengah tahun lagi aku mondok disini, aku akan berusaha keras. Aku tak akan membuang waktu dan kesempatan yang kupunya. Akan kugunakan waktuku ini untuk belajar, belajar dan belajar. Aku bercita-cita ingin menjadi orang besar seperi Gus Dur, San.”
            “Baguslah kalau begitu, Bang. Kau masih kelas satu. Masih baru. Masih banyak waktumu disini. Jangan kau sia-siakan waktumu itu. Kau beda denganku. Aku sudah kelas dua. Aku juga menyesal sekarang. Orangtuaku ingin setelah lulus nanti aku melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar, Kairo. Kau tahu kan? Untuk bisa kesana aku harus menghafal minimal lima juz Al-Qur’an. Tetapi sekarang juz Amma saja aku banyak yang lupa.”
            “Ya, kau juga jangan menyerah lah, San. Tidak ada kata terlambat. Masih ada satu tahun yang harus kau perjuangkan.”
            Hasan terdiam sejenak lalu berkata, “Iya, Bang kau benar juga.”
            “San, kita ini sahabat. Kau lah yang mengenalkanku kepada pondok ini ketika aku masih satu dua hari disini. Aku ini manusia, kau juga. Aku tak selamanya benar, kau pun juga. Aku ingin selama kita disini kita saling mengingatkan. Ketika aku salah kaulah yang membenarkanku, dan ketika kau salah, aku akan berusaha mengingatkan dan membenarkanmu. Gimana, San?”
            “Ya tentu saja. Aku setuju denganmu,” keduanya bersalaman. Lalu mereka kembali terdiam. Surat Al-Ikhlas masih terdengar merdu dilantunkan oleh seorang santri. Bambang dan Hasan memejamkan kedua matanya. Dua orang sahabat itu pun tertidur dengan lelapnya.
***************
            Kamis, 05 Desember 2019.
Bambang akhirnya selesai membaca doa setelah sebelumnya membaca surat Yasin dan tahlil. Dia tidak menyadari bahwa di samping kanannya sudah ada seorang lelaki yang sedari tadi duduk bersila sambil memerhatikannya. Lelaki itu mengenakan kemeja batik warna putih dan hitam, celana hitam dan tas jinjing warna hitam yang dia letakkan disampingnya. Lelaki itu tiba-tiba merangkul pundak Bambang dengan tangan kirinya. Bambang yang merasa kaget langsung menoleh ke arah laki-laki tersebut.
            “Kau? Masya Allah…. Imam?” kata Bambang dengan ekspresi wajah kaget sekaligus senang.
            “Kau Bambang kan?”
            “Iya ini aku, Mam. Oh bahagia sekali rasanya bertemu sahabat lama. Kemana saja kau? Kenapa sulit sekali aku menghubungimu?”
            “Iya, Bang. Aku juga sangat senang bertemu denganmu. Maafkan aku, Bang. Aku belum membeli HP lagi. HP-ku kemarin hilang dighasab orang.”
            “Oh, pantas saja. Aku kira kau sudah melupakanku.”
            “Ah, kau ini, Bang. Mana mungkin aku melupakanmu. Apa kabar kau ini? Aku sungguh tak menyangka. Tujuh tahun kau kuliah di Kairo, badanmu sekarang tinggi besar. Gagah sekali kau sekarang. Padahal dulu kau pendek dan kurus. Hahaha…”
            “Haha.. kau ini bisa saja, Mam. Disana setiap hari aku makan daging. Tidak seperti dulu aku disini, makan hanya berlauk tahu tempe, minum pun kadang hanya minum air keran jeding.”
            “Hahahaha…,” kedua sahabat itu tertawa.
            “Kau juga tambah tampan saja, Mam. Habis darimana kau dengan pakaian rapi seperti ini?” tanya Bambang.
            “Aku baru selesai mengajar, Bang,” jawab Imam.
            “Oalah pantas saja. Oh, iya ya Allah… Hasan! Bagaimana kabar Hasan sekarang? Tiga hari yang lalu aku menghubunginya lewat video call. Dia meminta oleh-oleh dariku. Aku sudah membawakan oleh-oleh khusus untuknya. Dan kau juga jangan khawatir, Mam. Aku juga punya oleh-oleh untukmu di tas ranselku ini,” kata Bambang sambil tersenyum dan menaikkan kedua alis matanya.
            Raut muka Imam berubah seketika. Bukannya menunjukkan rasa senang, tetapi menunjukkan rasa sedih. Imam diam termenung sejenak.
            “Mam? Kenapa? Hasan kemana, Mam?” tanya Bambang kepada Imam. Bambang menangkap sesuatu yang tidak beres dari raut wajah Imam. Perasaan Bambang mulai tidak enak.
            “Sehari setelah kau menghubunginya, dia pergi ke Pondok Tambakberas dengan sepeda motornya. Dia diundang menjadi pemateri dalam sebuah acara bedah buku di sana. Tetapi Tuhan berkehendak lain, Bang. Dia kecelakaan di perjalanan. Lalu… dia meninggal, Bang” jawab Imam. Pelan tetapi cukup jelas untuk membuat Bambang terdiam seribu bahasa. Lidahnya kaku. Jantungnya berdetak kencang. Badannya langsung lemas. Kepalanya tertunduk layu. Dia masih tak percaya.
            “Ka..kau yang benar saja, Mam. Kau berbohong kan? Ini semua tidak benar kan, Mam? Jawab, Mam!”
            “Tenanglah, Bang!” Imam memegang pundak Bambang. “Aku yakin Hasan mati syahid, Bang. Dia sempat dibawa ke rumah sakit. Aku dan beberapa pengurus sempat menjenguknya. Aku lihat kondisinya yang sangat menyedihkan. Waktu itu aku tak sanggup membendung air mata, tetapi Hasan sebaliknya. Dia tersenyum, Bang. Dia bahkan sempat menitipkan salam untukmu. Dia bilang bahwa kau jangan pernah menyesal karena kau tak sempat bertemu dengannya secara langsung lagi. Dia juga memintaku agar menunjukkan buku karangannya kepadamu. Kebetulan sekali buku itu sedang aku bawa,” Imam membuka tasnya lalu mengeluarkan sebuah buku dan memberikannya kepada Bambang. “Ambillah itu untukmu!” Bambang tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Dadanya sesak seakan ditindih sebongkah batu besar. Dia lihat buku itu. Judulnya, “Sukses di Dunia dan Akhirat”. Di pojok kanan atas buku itu tertulis jelas nama sahabatnya, M. Hasanuddin.
            “Itu pengalaman yang takkan kulupakan seumur hidup, Bang,” Imam melanjutkan ceritanya. “Aku melihat Hasan pada saat terakhirnya. Dia mengucapkan dua kalimat syahadat dengan fasih, lalu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Aku dan beberapa pengurus yang ada disana menangis, Bang. Hasan adalah orang yang hebat. Dia sudah membawa perubahan baik bagi pondok pesantren ini. Baru beberapa minggu kemarin dia terpilih menjadi pengurus terbaik. Aku dan semua pengurus pondok sangat merasa kehilangan. Dan aku tahu kau juga pasti begitu. Tetapi yakinlah, Bang. Hasan pasti bahagia disana. Dia pasti berkumpul bersama dengan orang-orang shaleh yang lainnya di alam sana.”
            Bambang hanya duduk terdiam. Kemudian dia mengangguk. “Ya, Zak. Kau benar.” Setelah itu keduanya saling terdiam. Pikiran Bambang melayang. Dia ingat bagaimana ekspresi Hasan ketika sudah lulus Aliyah dan dia gagal untuk melanjutkan pendidikan ke Al-Azhar, Mesir. Hasan tetap tersenyum. Hasan akhirnya menjadi pengurus di pondok ini. Tahun berikutnya giliran Bambang yang lulus. Hasanlah yang banyak berkorban dan membantu Bambang untuk dapat kuliah di Al-Azhar. Ternyata usahanya tidak sia-sia. Berkat bantuan Hasan, Bambang berhasil mendapatkan beasiswa kuliah penuh di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sebelum keberangkatan Bambang ke Kairo, Hasan pernah bilang kepada Bambang, “Yah.. Tidak apa-apalah bila kau tak terlalu baik. Tetapi jadikanlah generasi setelahmu menjadi lebih baik darimu,” Bambang ingat betul kata-kata itu. Dia simpan kata-kata itu dengan baik di memori otaknya.
            “Mam...,” kata Bambang sambil menatap mata Imam. Bambang kini tersenyum walaupun kedua bola matanya berkaca-kaca.
            “Apa, Bang?” tanya Imam.
            “Ya, kau benar. Aku tidak pantas sedih. Dia pasti lebih bahagia di alam sana. Berkumpul bersama dengan orang-orang shaleh yang lainnya.”
            Imam tersenyum, “Kita tetap harus mendoakannya!”
            “Ya, tentu saja. Dan kita juga harus meneruskan perjuangannya!” kata Bambang sambil mengepalkan tangan kanannya. Imam tersenyum dan mengangguk.
            Adzan dhuhur terdengar dikumandangkan oleh seorang muadzin di Mesjid Ponpes Tebuireng. Mengajak setiap muslim agar sejenak meninggalkan urusan-urusan dunianya untuk memenuhi panggilan Sang Maha Kuasa. Bambang dan Imam terdiam. Pikiran mereka melayang. Dalam hati Bambang berkata, “Ah, lagi-lagi si Hasan lebih beruntung dariku. Dia pasti sudah bertemu Gus Dur di alam sana.”
Tebuireng, 11-04-2012
TAMAT