Kamis, 5 Desember 2019.
Siang itu, matahari tanpa ampun
memuntahkan panasnya kepada mahluk-mahluk di tanah ini. Orang-orang yang ada
disini – baik pribumi maupun pendatang pun mengeluh kepanasan. Tetapi mereka
punya cara tersendiri untuk mengatasi semakin panasnya suhu bumi karena global warming. Sekarang banyak orang
yang memakai lotion pelindung anti sinar
UV untuk melindungi kulit dari ancaman kanker. Ada juga disini yang memakai topi, payung,
ataupun jaket ber-AC yang mulai menjamur di pasaran pada akhir tahun 2019 ini.
Seorang
lelaki tampan dan gagah dengan postur tinggi besar berdiri beberapa meter di
depan pintu gerbang. Dia mengenakan jaket ber-AC buatan Jepang yang memiliki
sepasang baterai di sisi jaket yang mampu menarik udara dari luar dan
mengisinya ke dalam sehingga akan terasa sejuk ketika memakainya. Dia juga
memakai peci putih, kacamata hitam, celana jeans biru, dan tas ransel di
punggungnya. Dia adalah Muhammad Bambang Febrianto.
Untuk
pertama kalinya setelah tujuh tahun, akhirnya Bambang kembali menginjakkan
kakinya di tanah ini. Dia masih saja berdiri menghadap ke pintu gerbang. Dia
melepas kacamata hitamnya, lalu pandangannya mengedar ke sebelah kanan, lalu ke
sebelah kiri. Dilihatnya tempat ini semakin ramai saja. Setiap hari tempat ini
memang dikunjungi oleh lebih dari dua ribu peziarah yang datang dari berbagai
daerah, dari berbagai suku dan dari berbagai macam latar belakang. “Banyak yang
berubah selama aku pergi,” pikir Bambang.
Bambang
melangkahkan kakinya. Dia berjalan melewati pintu gerbang, memasuki area pondok
pesantren bersama rombongan-rombongan peziarah lainnya. Dilihatnya
gedung-gedung megah nan indah yang berdiri kokoh disekelilingnya. “Benar-benar
sudah berubah,” gumamnya dalam hati.
Setelah sampai di tempat yang menjadi
tujuan utama, Bambang mengambil tempat yang kosong diantara para peziarah
lainnya. Dia duduk bersila dan mulai melantunkan doa-doa yang dia tujukan
kepada para kekasih Allah yang jasadnya kini terkubur di dalam tanah di hadapannya.
Di hadapan Bambang kini terhampar makam orang-orang yang hebat dan luar biasa.
Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Wahid Hasyim adalah dua orang pahlawan yang sangat
dikaguminya. Apalagi kepada seorang Gus
Dur. Seorang tokoh yang sangat diidolakannya dari dulu. Sejak pertama mondok, dia sangat ingin bertemu dan
mencium tangan orang yang diidolakannya itu.
Mata Bambang kini berkaca-kaca. Air
mata yang tak terbendung lagi perlahan keluar, mengalir membasahi pipi putih
bersih Bambang yang tak pernah berjerawat. Terlintas di benaknya
kenangan-kenangan indah ketika dulu selama tiga tahun dia menjadi santri di Pondok
Pesantren Tebuireng ini. Dia ingat kepada teman-temannya yang dulu selalu menemaninya
dalam suka dan duka. Dia rindu kepada dua orang sahabat terdekatnya dulu, Hasan
dan Imam. Mereka berdua adalah sahabat terbaik Bambang ketika nyantri dulu. Apalagi Hasan yang selama
ini sudah Bambang anggap sebagai saudara kandung sendiri. Bambang dan Hasan
selalu saling memotivasi, saling menasihati dan saling memberi. Baru tiga hari
yang lalu Bambang menghubungi hasan menggunakan Video Call. Hasan memberi
kabar bahwa dia dan Imam sekarang sudah sukses menjadi pembina dan pengurus
Pondok ini. Bambang senang mendengarnya. Sementara Imam entah kenapa tidak
dapat dihubungi oleh Bambang. Bambang sudah tak sabar ingin bertemu dengan
kedua sahabatnya itu. Dia mempunyai segudang cerita yang siap dia bagi kepada
mereka berdua. Tapi entahlah, sejak sehari yang lalu Hasan pun tak bisa dihubunginya.
***************
Kamis, 24 Desember 2009.
Bambang baru lima bulan menjadi santri di Pondok Pesantren
Tebuireng ini. Tapi dia sudah merasa sangat betah mondok disini. Dia tahu bahwa Pesantren Tebuireng sudah terkenal sebagai
penghasil orang-orang yang sukses. Banyak alumni-alumninya yang menjadi orang
besar. Pesantren ini juga adalah satu-satunya Pesantren yang di dalamnya
terdapat dua makam pahlawan nasional yakni KH. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahid
Hasyim. Bambang juga tahu bahwa Pesantren ini sangat sering dikunjungi oleh
orang-orang ternama. Imam pernah bercerita kepada Bambang bahwa dia pernah
mencium tangan Pak Jusuf Kalla. Begitu juga Hasan yang mengaku pernah berfoto
dengan Bapak Menteri Agama, dan banyak lagi cerita-cerita yang Bambang dengar
dari kakak-kakak seniornya. Bambang senang mendengarnya. Apalagi jika ada yang
bercerita tentang Gus Dur, cucu dari Mbah Hasyim yang sangat diidolakannya. Pastilah dia sangat senang
mendengarnya. Beliau adalah satu-satunya tokoh yang sangat Bambang ingin temui
sekarang. Dan dengan Bambang mondok
di Pondok Pesantren ini, kesempatan untuk itu kian terbuka lebar.
Angin malam berhembus kencang.
Membuat daun-daun pohon di depan Wisma Saifuddin Zuhri bergoyang-goyang. Langit
malam terlihat indah dengan bintang-bintang yang berkilauan. Saat ini jam di
dinding kamar SZ 305 menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Seluruh penghuni
kamar ini sudah tenggelam di alam mimpinya masing-masing. Kecuali tiga sekawan
yang sama-sama mempunyai hobi bercerita yakni Bambang, Hasan dan Imam. Mereka
bertiga masih saja asyik ngerumpi
ngalor-ngidul. Berbagai macam hal mereka bicarakan. Adakalanya mereka
tertawa bersama, adakalanya mereka memasang wajah serius dan adakalanya pula
mereka saling terdiam mencari bahan omongan lain.
“Eh, Bang, Zak ke makam yuk!” ajak Hasan kepada Bambang dan Imam.
“Wah malas aku kalau sekarang, San,”
kata Imam.
“Iya, San. Mataku juga sudah sangat
berat. Tak tahan lagi aku menahan kantuk,” Bambang pun menolak ajakan Hasan
seperti halnya Imam.
“Huh kalian ini. Tidakkah kalian
ingat kata ustadz-ustadz disini, jika kita ingin sukses menuntut ilmu di pondok
pesantren ini, kita harus rajin-rajin berjama’ah, taat aturan pondok dan juga
sering berziarah ke maqbarah,
mendoakan para ulama’ kita yang sudah wafat?”
“Ah, kau ini, San. Sudah tahulah
aku. Sudah berkali-kali aku mendengar nasehat itu dari ustadzku. Tapi sekarang
aku sedang malas, San. Kau sendiri saja lah!” kata Imam.
“Iya, San. Hooammh,…,” Bambang lalu membaringkan tubuhnya di kasur.
“Huh, ya sudahlah,” Hasan bangkit.
Dia memakai sarung hitam, baju koko dan peci putih, lalu ia keluar menuju maqbarah. Sementara Bambang dan Imam mulai
memejamkan kedua matanya di kasur masing-masing. Kamar ini berubah menjadi
hening. Hanya suara detak jarum jam dinding yang terdengar.
Pagi
harinya.
“Haha… menyesalah kau, Bang. Tahu gak semalam aku bertemu dengan siapa?”
kata Hasan sambil menepuk bahu Bambang.
“Ketemu
siapa memang? Paling-paling kau ketemu dengan peziarah perempuan yang
cantik. Iya kan?”
celetuk Bambang.
“Astagfirullah...
Bukan lah, Bang. Aku bertemu idolaku, Bang. Idolamu juga.”
“Siapa?”
“Gus Dur, Bang. Aku bertemu Gus
Dur!”
Bambang terperanjat kaget, “Hah?
Yang bener aja lu?”
“Iya, Bang. Billahi, aku tidak
berbohong.”
“Tapi… bukankah beliau sedang dirawat
di Rumah Sakit?”
“Iya aku tahu, Bang. Beliau semalam
berziarah ke makam dengan menggunakan kursi roda bersama dengan serombongan
orang yang mengawalnya. Di tangannya kulihat juga masih ada perban bekas
infusan. Aku lihat langsung, Bang! Aku lihat!”
Bambang terdiam. Lalu... plokk. Dia menepuk jidatnya sendiri.
Garis wajahnya jelas menunjukkan rasa penyesalan dan kekecewaan. Padahal dia
sangat ingin bertemu dengan idolanya itu, tetapi begitu kesempatan itu datang,
dia menyia-nyiakannya. “Ah, alangkah beruntungnya Si Hasan itu. Kenapa semalam
aku menolak ajakannya?” pikir bambang.
“Tapi tenang saja, kawan. Beliau
bilang akan kesini lagi seminggu yang akan datang,” Hasan sedikit menghibur
Bambang. Seketika wajah Bambang pun berubah menjadi senang.
“Benarkah itu, San?”
“Iya. Beliau sendiri yang bilang.”
***************
Selama seminggu Bambang hanya
menunggu dan menunggu. Dia berpikiran alangkah bahagianya dia jika bisa bertemu
dan mencium tangan Gus Dur secara langsung. Setiap hari dia terus memikirkan Gus
Dur. Dia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Gus Dur. Dia senang membaca
artikel-artikel dan buku-buku tulisan Gus Dur. Dia senang melihat Gus Dur
tampil di layar kaca. Apalagi kini kesempatan untuk bertemu langsung sangat
terbuka. “Takkan
kusia-siakan lagi kesempatan ini,” pikir Bambang.
Satu minggu telah berlalu. Hari ini
hari Rabu, 30 Desember 2009. Setelah selesai menunaikan shalat Isya’ berjama’ah
ditambah dengan shalat ba’diyah di mesjid, sebagian besar santri kembali ke
kamar masing-masing. Begitu juga Bambang. Setelah sampai di kamarnya, dia
langsung merebahkan badan di kasurnya, melemaskan otot-otot yang sejak sebelum
subuh tadi terus-menerus dia gunakan untuk beraktivitas. Ya, memang harus
begitu jika ingin menjadi santri yang baik. Setiap santri harus mengikuti
setiap kegiatan yang diwajibkan oleh pengurus pondok. Dari mulai melaksanakan
shalat tahajjud, mengikuti pengajian Al-Qur’an ba’da subuh, berangkat ke
sekolah masing-masing, mengikuti pengajian diniyah dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Jika ada santri yang tidak mau diatur dan tidak mau mengikuti kegiatan di
pondok pesantren ini, maka bersiaplah dia untuk disidang dan dihukum oleh
keamanan.
Bambang bangkit lalu duduk sejenak.
Diraihnya sebuah buku yang ditaruh di rak diantara buku-buku dan kitab-kitab
yang lainnya. Belum sempat dia membaca habis satu halaman buku, Hasan tiba-tiba
masuk ke dalam kamar dengan tergopoh-gopoh lalu berteriak kepada teman-teman sekamarnya,
“Rek, ada kabar duka!”
“Apa, San?”
“Innalillahi... Gus Dur… Gus
Dur meninggal!”
Semua anak-anak yang ada di kamar
itu seketika terperanjat kaget.
“Kau… yang benar saja, San!” minat
membaca Bambang langsung hilang. Dia tutup buku ditangannya lalu dia letakkan
di atas kasur.
“Iya lah. Buat apa juga aku
berbohong. Aku dengar sendiri dari Ustadz Arif, Bang,”
Serasa ada petir menyambar yang
membuat hati seorang Bambang hancur berantakan. Dadanya sesak, serasa ditindih
seekor anak gajah. Badannya lemas seketika. Kedua tangannya memegang kepalanya
yang sudah tertunduk lesu. Tidak hanya Bambang, teman-temannya yang lain pun
sama. Bagi mereka kehilangan seorang Gus Dur adalah sebuah musibah besar.
Terlihat jelas ekspresi wajah mereka menunjukkan rasa kaget, tak percaya, dan
tentunya rasa sedih yang mendalam. Terutama Bambang. Seminggu memang telah
berlalu, dan apa yang dikatakan Gus Dur seminggu yang lalu memang benar adanya.
Beliau memang akan kembali lagi kesini, tetapi dengan keadaan yang sama sekali
tidak Bambang harapkan. Bambang masih berharap kalau ini semua hanya bohong.
Ini tidak nyata. Tetapi tak lama kemudian suara pengumuman dari pengurus yang
terdengar ke seluruh penjuru pondok membuat sisa-sisa harapannya sirna.
“Innalillahi wa inna ilaihi
raaji’uun…Telah berpulang ke rahmatullah guru kita semua, KH.
Abdurrahman Wahid…,” setelah mendengar kalimat itu, jadilah kini Bambang
sebagai orang yang paling menyesal sedunia. Sirna sudah impian dan harapannya
untuk bertemu Gus Dur secara langsung. Ternyata kesempatan itu hanya datang
satu kali. Setelah ini kesempatan itu tak kan pernah datang lagi.
Malam itu, malam penuh duka. Di Tebuireng
ini sudah jelas semua orang berduka. Berita wafatnya Gus Dur sang Guru Bangsa
dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Rakyat Indonesia pasti turut berduka
karena kehilangan guru bangsanya. Pondok Pesantren Tebuireng kini disorot oleh
berbagai media. Satu persatu mobil dari stasiun TV lokal maupun nasional
berdatangan. Beberapa reporter dan kameramen turun dari masing-masing mobil.
Mereka berlomba-lomba untuk meliput berita. Di dalam mesjid, seorang santri
terus menerus melantunkan surat
Al-Ikhlas dengan pengeras suara. Imam juga ada di dalam masjid bersama beberapa
santri yang lainnya, mereka bergantian membaca surat Al-Ikhlas. Sementara di area pemakaman,
segerombolan orang berkumpul. Mereka adalah pengurus pondok, santri, wartawan,
juga masyarakat sekitar yang sengaja masuk ke dalam pondok. Bambang dan Hasan
ada di antara mereka. Mereka berdua ikut membantu proses penggalian makam yang
nantinya akan menjadi tempat peristirahatan Gus Dur yang terakhir.
Setelah
lubang makam selesai dibuat, Bambang berdiri terdiam sambil menatap kosong ke
arah lubang tersebut. Dalam hati dia berkata, “Oh mimpikah aku? Nanti jasad Gus
Dur akan ditempatkan disini. Di lubang yang sempit nan gelap dengan jasad yang
hanya dibalut kain kafan. Lalu setelah jasad Gus Dur dibaringkan, lubang ini
akan ditutup lagi . Tinggallah beliau sendirian di dalamnya. Dan akhirnya pupus
sudah harapanku untuk bertemu dengannya. Aku takkan pernah lagi memiliki
kesempatan itu. Tak kan
pernah lagi!” Bambang mulai mengeluarkan air mata. Dia menangis, “Oh, kenapa
dengan diriku ini? Kenapa ini semua terjadi? Kenapa waktu itu aku menolah
ajakan Hasan? Kenapa kau ini Bambang?” Air mata Bambang mengalir semakin deras.
Hasan menerobos kerumunan orang untuk mendekati Bambang.
“Bang, ayo kita tidur! Badanku sudah
pegal semua. Ini sudah jam satu lebih,” ajak Hasan.
Bambang menghapus air matanya, “Ayolah,”
Bambang akhirnya mengikuti ajakan Hasan.
Bambang dan Hasan. Kedua sahabat ini
berbaring di serambi mesjid dengan hanya beralaskan sajadah. Disamping mereka
berdua ada Imam yang sudah dari tadi tertidur pulas disitu. Bambang dan Hasan
terdiam menatap langit-langit. Surat Al-Ikhlas masih terdengar dilantunkan
terus menerus oleh seorang santri di dalam masjid. Kedua sahabat ini termenung.
Tenggelam dalam alam pikirannya masing-masing. Hembusan angin malam yang
semakin kencang tak membuat mereka kedinginan. Sebagai santri mereka memang
sudah terbiasa dengan hal seperti itu.
“San, kau sudah tidur?” tanya
Bambang.
“Belum,” jawab Hasan sambil membuka
kedua matanya kembali.
“Kau tahu, San? Aku sangat menyesal
tidak ikut denganmu waktu itu. Ahh, andaikan waktu bisa diputar kembali.”
“Sudahlah, Bang. Tak ada gunanya kau
terus menyesal. Jadikan ini semua pelajaran, Bang!”
“Iya juga sih, San. Aku
bertekad kuat sekarang, San. Dua
setengah tahun lagi aku mondok disini, aku akan berusaha keras. Aku tak
akan membuang waktu dan kesempatan yang kupunya. Akan kugunakan waktuku ini
untuk belajar, belajar dan belajar. Aku bercita-cita ingin menjadi orang besar
seperi Gus Dur, San.”
“Baguslah kalau begitu, Bang. Kau
masih kelas satu. Masih baru. Masih banyak waktumu disini. Jangan kau
sia-siakan waktumu itu. Kau beda denganku. Aku sudah kelas dua. Aku juga
menyesal sekarang. Orangtuaku ingin setelah lulus nanti aku melanjutkan
pendidikan ke Universitas Al-Azhar, Kairo. Kau tahu kan? Untuk bisa kesana aku harus menghafal
minimal lima
juz Al-Qur’an. Tetapi sekarang juz Amma saja aku banyak yang lupa.”
“Ya, kau juga jangan menyerah lah, San.
Tidak ada kata terlambat. Masih ada satu tahun yang harus kau perjuangkan.”
Hasan terdiam sejenak lalu berkata,
“Iya, Bang kau benar juga.”
“San, kita ini sahabat. Kau lah yang
mengenalkanku kepada pondok ini ketika aku masih satu dua hari disini. Aku ini
manusia, kau juga. Aku tak selamanya benar, kau pun juga. Aku ingin selama kita
disini kita saling mengingatkan. Ketika aku salah kaulah yang membenarkanku,
dan ketika kau salah, aku akan berusaha mengingatkan dan membenarkanmu. Gimana,
San?”
“Ya tentu saja. Aku setuju
denganmu,” keduanya bersalaman. Lalu mereka kembali terdiam. Surat Al-Ikhlas
masih terdengar merdu dilantunkan oleh seorang santri. Bambang dan Hasan memejamkan
kedua matanya. Dua orang sahabat itu pun tertidur dengan lelapnya.
***************
Kamis, 05 Desember 2019.
Bambang akhirnya selesai membaca doa setelah sebelumnya membaca surat Yasin dan tahlil.
Dia tidak menyadari bahwa di samping kanannya sudah ada seorang lelaki yang
sedari tadi duduk bersila sambil memerhatikannya. Lelaki itu mengenakan kemeja
batik warna putih dan hitam, celana hitam dan tas jinjing warna hitam yang dia
letakkan disampingnya. Lelaki itu tiba-tiba merangkul pundak Bambang dengan tangan
kirinya. Bambang yang merasa kaget langsung menoleh ke arah laki-laki tersebut.
“Kau? Masya Allah…. Imam?”
kata Bambang dengan ekspresi wajah kaget sekaligus senang.
“Kau Bambang kan?”
“Iya ini aku, Mam. Oh bahagia sekali
rasanya bertemu sahabat lama. Kemana saja kau? Kenapa sulit sekali aku menghubungimu?”
“Iya, Bang. Aku juga sangat senang
bertemu denganmu. Maafkan aku, Bang. Aku belum membeli HP lagi. HP-ku kemarin
hilang dighasab orang.”
“Oh, pantas saja. Aku kira kau sudah
melupakanku.”
“Ah, kau ini, Bang. Mana mungkin aku
melupakanmu. Apa kabar kau ini? Aku sungguh tak menyangka. Tujuh tahun kau
kuliah di Kairo, badanmu sekarang tinggi besar. Gagah sekali kau sekarang.
Padahal dulu kau pendek dan kurus. Hahaha…”
“Haha.. kau ini bisa saja, Mam.
Disana setiap hari aku makan daging. Tidak seperti dulu aku disini, makan hanya
berlauk tahu tempe,
minum pun kadang hanya minum air keran jeding.”
“Hahahaha…,” kedua sahabat itu
tertawa.
“Kau juga tambah tampan saja, Mam.
Habis darimana kau dengan pakaian rapi seperti ini?” tanya Bambang.
“Aku baru selesai mengajar, Bang,”
jawab Imam.
“Oalah pantas saja. Oh, iya ya
Allah… Hasan! Bagaimana kabar Hasan sekarang? Tiga hari yang lalu aku
menghubunginya lewat video call. Dia meminta oleh-oleh dariku. Aku sudah
membawakan oleh-oleh khusus untuknya. Dan kau juga jangan khawatir, Mam. Aku
juga punya oleh-oleh untukmu di tas ranselku ini,” kata Bambang sambil
tersenyum dan menaikkan kedua alis matanya.
Raut muka Imam berubah seketika.
Bukannya menunjukkan rasa senang, tetapi menunjukkan rasa sedih. Imam diam
termenung sejenak.
“Mam? Kenapa? Hasan kemana, Mam?”
tanya Bambang kepada Imam. Bambang menangkap sesuatu yang tidak beres dari raut
wajah Imam. Perasaan Bambang mulai tidak enak.
“Sehari setelah kau menghubunginya, dia
pergi ke Pondok Tambakberas dengan sepeda motornya. Dia diundang menjadi
pemateri dalam sebuah acara bedah buku di sana. Tetapi Tuhan berkehendak lain,
Bang. Dia kecelakaan di perjalanan. Lalu… dia meninggal, Bang” jawab Imam.
Pelan tetapi cukup jelas untuk membuat Bambang terdiam seribu bahasa. Lidahnya
kaku. Jantungnya berdetak kencang. Badannya langsung lemas. Kepalanya tertunduk
layu. Dia masih tak percaya.
“Ka..kau yang benar saja, Mam. Kau
berbohong kan? Ini semua tidak benar kan,
Mam? Jawab, Mam!”
“Tenanglah, Bang!” Imam memegang
pundak Bambang. “Aku yakin Hasan mati syahid, Bang. Dia sempat dibawa ke rumah sakit. Aku dan beberapa pengurus sempat
menjenguknya. Aku lihat kondisinya yang sangat menyedihkan. Waktu itu aku tak
sanggup membendung air mata, tetapi Hasan sebaliknya. Dia tersenyum, Bang. Dia
bahkan sempat menitipkan salam untukmu. Dia bilang bahwa kau jangan pernah
menyesal karena kau tak sempat bertemu dengannya secara langsung lagi. Dia juga
memintaku agar menunjukkan buku karangannya kepadamu. Kebetulan sekali buku itu
sedang aku bawa,” Imam membuka tasnya lalu mengeluarkan sebuah buku dan
memberikannya kepada Bambang. “Ambillah itu untukmu!” Bambang tak sanggup
mengeluarkan kata-kata. Dadanya sesak seakan ditindih sebongkah batu besar. Dia
lihat buku itu. Judulnya, “Sukses di Dunia dan Akhirat”. Di pojok kanan atas
buku itu tertulis jelas nama sahabatnya, M. Hasanuddin.
“Itu
pengalaman yang takkan kulupakan seumur hidup, Bang,” Imam melanjutkan
ceritanya. “Aku melihat Hasan pada saat terakhirnya. Dia mengucapkan dua
kalimat syahadat dengan fasih, lalu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku dan beberapa pengurus yang ada disana menangis, Bang. Hasan adalah orang
yang hebat. Dia sudah membawa perubahan baik bagi pondok pesantren ini. Baru
beberapa minggu kemarin dia terpilih menjadi pengurus terbaik. Aku dan semua
pengurus pondok sangat merasa kehilangan. Dan aku tahu kau juga pasti begitu.
Tetapi yakinlah, Bang. Hasan pasti bahagia disana. Dia pasti berkumpul bersama
dengan orang-orang shaleh yang lainnya di alam sana.”
Bambang
hanya duduk terdiam. Kemudian dia mengangguk. “Ya, Zak. Kau benar.” Setelah itu
keduanya saling terdiam. Pikiran Bambang melayang. Dia ingat bagaimana ekspresi
Hasan ketika sudah lulus Aliyah dan dia gagal untuk melanjutkan pendidikan ke
Al-Azhar, Mesir. Hasan tetap tersenyum. Hasan akhirnya menjadi pengurus di
pondok ini. Tahun berikutnya giliran Bambang yang lulus. Hasanlah yang banyak
berkorban dan membantu Bambang untuk dapat kuliah di Al-Azhar. Ternyata
usahanya tidak sia-sia. Berkat bantuan Hasan, Bambang berhasil mendapatkan
beasiswa kuliah penuh di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sebelum
keberangkatan Bambang ke Kairo, Hasan pernah bilang kepada Bambang, “Yah..
Tidak apa-apalah bila kau tak terlalu baik. Tetapi jadikanlah generasi
setelahmu menjadi lebih baik darimu,” Bambang ingat betul kata-kata itu. Dia
simpan kata-kata itu dengan baik di memori otaknya.
“Mam...,”
kata Bambang sambil menatap mata Imam. Bambang kini tersenyum walaupun kedua
bola matanya berkaca-kaca.
“Apa,
Bang?” tanya Imam.
“Ya,
kau benar. Aku tidak pantas sedih. Dia pasti lebih bahagia di alam sana. Berkumpul bersama
dengan orang-orang shaleh yang lainnya.”
Imam
tersenyum, “Kita tetap harus mendoakannya!”
“Ya,
tentu saja. Dan kita juga harus meneruskan perjuangannya!” kata Bambang sambil
mengepalkan tangan kanannya. Imam tersenyum dan mengangguk.
Adzan
dhuhur terdengar dikumandangkan oleh seorang muadzin di Mesjid Ponpes
Tebuireng. Mengajak setiap muslim agar sejenak meninggalkan urusan-urusan
dunianya untuk memenuhi panggilan Sang Maha Kuasa. Bambang dan Imam terdiam.
Pikiran mereka melayang. Dalam hati Bambang berkata, “Ah, lagi-lagi si Hasan
lebih beruntung dariku. Dia pasti sudah bertemu Gus Dur di alam sana.”
Tebuireng,
11-04-2012
TAMAT