Selasa, 03 Juli 2012

Bunga Zahra


Senin, 13 Juni 2011.
Cahaya putih terlihat melintang mengikuti garis lintang di ufuk sebelah Timur. Fajar Shiddiq telah terbit. Menandakan waktu subuh telah datang. Suara merdu Ustadz Hasan terdengar mengumandangkan adzan. Santri-santri yang masih tidur segera dibangunkan oleh para ustadz yang menjadi keamanan.
 Sebelum ada sorban keamanan yang memecutku, aku sudah bangun. Aku mencoba mengumpulkan ingatanku. Semalam aku bermimpi lagi, mimpi tentang Ibuku. Di mimpi itu dia datang ke pesantrenku, dia menjengukku.  Ibu datang, begitu aku menghampirinya, Ibu malah pergi. Ibu pergi sambil tersenyum padaku, tanpa berkata apapun. Aku memanggil, aku mengejar, aku mencoba meraih tangan Ibu, tapi tak bisa. Ibu malah semakin menjauh. Entahlah, mimpi itu tidak seperti alam nyata. Akal kadang tak bisa mencerna kejadiannya. Kini diriku ada di alam sadar. Kini aku teringat akan Ibu. Aku rindu padanya. Sudah hampir enam bulan aku tidak pulang ke rumah, aku masih disini, aku masih menjadi santri, di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Kepalaku pusing, badanku lemas, padahal di sekolah hari ini masih berlangsung Ujian Akhir Semester. Tepatnya hari ke sepuluh. Aku tak tahu kenapa, mungkin gara-gara semalam aku terlalu keras belajar. Ah, tidak juga, aku justru lebih banyak mengobrol bersama Rozak, teman sekamarku dari Sumatra. Buku pelajaran Biologi, Ushul Fiqh dan Tafsir Ahkam yang akan diujikan hari ini hanya kubuka sesekali. Semalam aku tidak terlalu nafsu belajar. Tetapi tetap saja aku berharap ujian nanti berjalan dengan lancar.
Mungkin aku terlalu banyak pikiran. Itu karena aku terlalu aktif di Pondok. Terutama di organisasi. Sekarang jabatanku dua, di OSIS yang ada di sekolah aku menjadi sekertaris umum. Di HISPA alias Organisasi Daerah Himpunan Santri Pasundan yang ada di pondok aku menjadi ketua. Belum lagi aku juga mengikuti ekskul-ekskul yang lainnya. Di dalam itu semua terdapat masalahnya  masing-masing. Hingga membuatku pusing tujuh keliling. Aku sering dikritik, bahkan dicaci oleh para senior-senior, baik di ORDA, maupun di OSIS. Mereka bilang aku tidak becus memimpin, aku kurang tegas, aku sering tidak fokus, dan sebagainya.
Aku awalnya hanya menjadi sekertaris di OSIS. Sampai akhirnya Kak Iyan, ketua HISPA sebelumku waktu itu menunjukku menjadi calon ketua. Segala macam protes telah kuajukan. Tapi apalah daya, Kak Iyan bilang, “Kamu itu udah dipilih sama para senior, jadi gak bisa diganggu gugat. Kamu juga kulihat udah punya wibawa di mata anak-anak HISPA. Kamu itu lebih pantas di HISPA daripada di OSIS. Nanti kalau seandainya kamu kepilih, OSIS gampang, aku nanti yang bilang ke Bapak Pembina OSIS buat minta kamu dimundurin dari jabatanmu.”
Waktu berlalu, aku terpilih menjadi ketua HISPA, aku dan Kak Iyan berusaha agar aku bisa mundur dari jabatanku di OSIS. Alasannya tidak lain adalah supaya aku benar-benar fokus di HISPA. Tapi ternyata tidak. Bapak Pembina tidak mengizinkan. Akhirnya sekarang, aku memegang dua jabatan yang semuanya berat untuk kupegang.
            Aku berusaha kuat menghadapi itu semua. Disini aku belajar untuk dewasa. Aku berada jauh dari rumah, jauh dari orang tua, dan jauh dari ke lima adikku yang sangat kucinta. Aku anak pertama. Lagipula sebentar lagi aku pulang. Ya, lima hari lagi libur semester telah datang. Itu berarti dua tahun sudah aku menuntut ilmu di pesantren ini. Sebentar lagi aku memasuki tahun terakhir.
Begitu cepat waktu berlalu, begitu lambat aku mengejar ilmu. Aku mulai merenung. Selama ini apa yang telah kudapat dari pondok ini? Apakah aku sudah bisa berguna di masyarakat? Apa ilmuku sudah banyak? Atau aku nanti justru akan membuat malu karena tidak bisa apa-apa? Tidak! Aku tidak mau seperti itu. Orangtuaku sudah banyak berkorban untukku, mengirimiku bekal yang tidak sedikit setiap bulan untuk mencukupi semua kebutuhanku. Walau kadang sering telat kiriman itu datang, tidak pantas rasanya jika aku malah menyia-nyiakan waktuku hanya untuk bersenang-senang. Aku harus berusaha membanggakan mereka.
            Aku kembali teringat Ibu. Ibu kini sedang mengandung adikku yang ke tujuh. Selama di pondok ini aku hanya dua kali menghubungi Ibu. Itupun waktu aku masih kelas satu. Dan setiap aku menghubunginya, Ibu pasti terdengar menangis. Aku tahu, Ibu mungkin sedih ditinggal anak kesayangannya, Ibu mungkin khawatir karena aku mondok di tempat yang ratusan kilometer jauhnya dari rumah. Padahal di rumah aku sadar, aku sering berbuat salah terhadapnya.  Tapi Ibu tak pernah marah. Ibu tak pernah memukulku dengan tangannya. Bagaimanakah kabar Ibu sekarang? Kenapa aku tiba-tiba selalu memikirkannya? Hmm, Entahlah.
***
            Kamis, 16 Juni 2011.
            Setiap akan datang libur panjang, setiap organisasi daerah di pondok ini pasti bersiap-siap untuk mengadakan rombongan pulang. Ada yang memakai bis, ada juga yang memakai kereta. OPI DKI, ORDA-nya santri-santri Jakarta kulihat sudah memasang pengumuman dengan karton besar di mading pesantren. Mereka berusaha agar warganya tertarik untuk ikut rombongan pulang bareng yang mereka adakan. ORDA KSHC, dari Cirebon, RIM dari Jawa Tengah, dan banyak lagi yang lainnya juga saling berlomba-lomba untuk menarik warganya untuk ikut menyemarakan pulang bareng ini. ORDA-ku, HISPA juga tak mau kalah. Aku sebagai ketua telah mempersiapkan semuanya. Membentuk kepanitiaan, menunjuk ketua panitia, mengawasi mereka bekerja, menariki anak-anak yang akan pulang ke tanah Pasundan uang lima puluh ribuan, dan sebagainya. Hanya lima puluh ribu, murah memang, karena hanya memakai kereta ekonomi Kahuripan. Tetapi menyenangkan karena didorong oleh rasa kebersamaan. Walaupun ada diantara kami yang manja dan memiliki banyak uang memilih naik kereta yang lebih mahal harganya dan tidak ikut rombongan.
            Tidak terasa hari ini adalah hari terakhir ujian.  Dua hari lagi para santri diperbolehkan untuk pulang. Lega rasanya, walau capek karena harus mengurusi ini dan itu, terutama mengurus rombongan pulang bareng. Aku segera mengirim pesan ke Bapak lewat ponsel. Memberi tahu kalau anak pertamanya ini dua hari lagi akan pulang. Aku menunggu balasan. Selama ini Bapak tak pernah memaksaku untuk tidak pulang. Aku banyak mendengar ada temanku tidak pulang karena dilarang oleh orangtuanya. Untunglah Bapakku tidak seperti itu. Tak lama Bapak pun membalas.
Klau bsok bsa gk pulangnya, Sep?
Aku membalas, “Bsok aku ngambil rapot pa, truz dpet tugas dr OSIS buat jadi pnerima tamu pas acara wisuda. Kenapa ath Pa?”
“Ibu sakit, Sep. Udah dua minggu di rumah sakit.”
Jantungku berdegup kencang, hatiku berguncang tak karuan. Ibu sakit. Padahal dia sedang mengandung tujuh bulan. Inikah arti mimpi-mimpiku di waktu malam. Inikah jawaban mengapa ku selalu teringat akan Ibu tersayang? Aku bimbang sekarang. Disini ada tanggung jawab yang harus ku selesaikan, sementara di rumah, keluarga menungguku untuk pulang. Manakah yang harus kupilih?
***
Sabtu, 18 Juni 2011.
Pagi itu setelah mengambil rapotku, aku segera bergegas ke lapangan SMA, tempat acara wisuda purna siswa dilaksanakan. Aku bertugas menjadi penerima tamu. Satu per satu tamu yang datang ku antar sampai ke tempat duduk mereka. Hingga tak terasa hari semakin siang, semakin panas. Aku sendiri kepanasan. Ingin rasanya melepas jas OSIS berwarna hitam yang kukenakan. Kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh. Aku bingung. Aku harus pulang hari ini. Aku harus melihat keadaan Ibu. Segera saja ku temui Dindin, ketua OSIS sekolahku yang juga merupakan orang HISPA alias orang Sunda juga.                       
“Din, aku mau minta izin.”
“Mau kemana, Sep?”
“Pulang, Din.”
“Hah, yang bener aja, Sep. Acaranya masih lama. Belum lagi di ORDA entar kamu ngurus rombongan kan? Kok pulang sekarang?” Dindin terlihat marah.
“Emm… Ibuku kritis, Din di rumah sakit,” kupasang wajah memelas.
Seketika muka marah Dindin pun meredup. Dia menarik nafas, “Terus tugasmu ini gimana, Sep?”
“Ya kalo ini cuma jadi penyambut tamu, Din. Tinggal diganti aja gampang kan? Terus kalau di HISPA aku udah bentuk panitia rombongan sendiri. Kuyakin mereka bisa tanpa aku.”
“Kamu yakin, Sep? Kalau sama senior-senior HISPA gimana? Udah izin belum? Pasti mereka kesel deh. Kamu itu udah banyak dikritik, Sep.”
“Hmm… tapi ini Ibuku, Din. Ibuku! Aku disuruh pulang sekarang.”
“Gak bisa besok aja, Sep, bareng sama anak-anak?”
“Gak bisa, Din. Aku takut kenapa-napa.”
“Hufh… Ya sudah, Sep. Hati-hati, ya!”
“Oke, Din. Makasih,” aku menyalami Dindin. Lalu bergegas menuju ke pondok untuk bersiap-siap.
Di kamar sepi, aku segera membersihkan diri, mengeluarkan isi lemari, baju-baju, sarung dan sebagainya aku masukkan ke dalam tas ransel yang akan kubawa pulang nanti.
Pukul setengah dua siang aku sudah siap berangkat ke stasiun. Aku lihat acara wisuda telah selesai, kakak-kakak kelasku yang baru saja diwisuda sudah kembali ke pondok. Aku bertemu dengan beberapa senior HISPA. Aku pamit pulang kepada mereka, mereka kaget, mereka memarahi, mereka memaki. Aku terima itu, aku jelaskan semuanya hingga akhirnya mereka pun mengerti. Mereka meminta maaf padaku, aku tidak marah pada mereka. Mereka pantas memarahiku, aku pun hanya meminta doa kepada mereka supaya Ibuku di rumah cepat diberikan kesembuhan.
Aku naik kereta Kahuripan. Kereta ini tidak berhenti di Stasiun Jombang. Jadi, aku dari Jombang harus naik bis ke Stasiun Kertosono. Di stasiun itulah aku naik kereta Kahuripan. Waktu itu tiket bisa dibeli langsung pada hari keberangkatan. Aku naik kereta dari Kertosono menuju ke kampung halaman, yakni Kota Garut yang indah, tentram aman dan nyaman. Seorang diri aku duduk berdesakan. Pikiranku mulai melayang. Aku kembali teringat Ibu. Aku terus berdoa untuknya. Aku juga teringat teman-teman di pondokku. Semoga saja mereka baik-baik saja tanpaku.
Aku kadang masih tak percaya dengan ini semua. Dulu aku adalah anak yang sangat pendiam. Aku jarang bergaul dengan teman. Tetapi setelah merantau jauh dari kampung halaman, aku mulai berubah. Aku jadi mengerti tentang arti persahabatan, pertemanan, dan kebersamaan. Di Pondok lah aku tahu itu semua. Aku yang dulu bisa dikatakan culun ini kini menjadi pejabat di dua organisasi besar. Mungkin jika aku bercerita kepada teman-temanku di kampung, mereka tak percaya. Mana mungkin anak sepertiku bisa memimpin. Mana mungkin orang sepertiku bisa mengatur warganya yang tak sedikit. Tapi inilah aku sekarang. Aku telah berubah. Aku sudah semakin kuat. Setidaknya lebih kuat daripada aku yang dulu, sebelum menyandang status santri. Dan akhirnya kusadari juga, masalah-masalah lah yang membuatku semakin kuat saat ini.
Aku pernah mengeluh dengan banyaknya masalah dan kesulitan yang menimpaku selama di pesantren. Di organisasi aku harus bisa bertugas menjalankan amanah dengan baik, di kelas orangtuaku juga menuntutku untuk jadi yang terbaik. Aku pusing, aku capek dengan itu semua. Kadang aku iri terhadap teman-temanku yang seperti tak punya beban, hidupnya santai, sering bermalas-malasan di kamar. Tetapi setelah seorang ustadz memberi nasihat kepadaku, aku akhirnya sadar.
“Inilah pesantren, Sep. Disini memang tempatnya kamu susah. Di sini memang tempatnya kamu sengsara. Kalau hidup di pondok pesantren pengen enak, mendingan kamu di rumah aja gak usah jauh-jauh kesini. Kamu gak usah banyak mengeluh. Jalanilah dengan didasari niat karena Allah. Semua kesulitan yang ada di Pesantren ini adalah untuk membuat kamu kuat. Ketahuilah, di masyarakat nanti tantangannya akan jauh lebih berat. Di sinilah kamu dilatih supaya kelak ketika kamu pulang kamu bisa menjadi kader muslim yang tangguh, yang dapat berguna di masyarakat.”
Aku mengangguk-ngangguk. Aku akhirnya termotivasi berkat nasihat itu.
***
            Akhirnya aku sampai di kampungku. Orang-orang kampung yang mengenalku sudah pasti menyambutku bak seorang pangeran yang baru saja pulang dari perjuangan. Mereka menyalamiku, tersenyum kepadaku, berbasa-basi padaku dan lain sebagainya.
            Aku sampai di depan pintu rumah. Aku masuk sambil mengucapkan salam. Terlihat Nenekku yang sedang menyuapi nasi adikku yang ke lima. Aku mencium tangan Nenek. Adik-adik kecilku yang melihat kakak kesayangannya ini pulang bersorak senang. Nenek tersenyum.
“Ibu gimana, Nek?”
Nenek menarik napas, garis wajahnya jelas menggambarkan kesedihan, “Sabar ya, Sep. Ibu kamu masih kritis. Katanya harus dioperasi. Nenek juga bingung. Kalau Ibu gak ada, gimana adik-adik kamu ini, Sep…,” suara Nenek tertahan, beberapa butir air keluar dari ujung matanya. Aku bisa merasakan kesedihannya. Hatiku juga sakit mendengar kata-katanya, sementara adik-adikku masih belum mengerti apa-apa. Mereka hanya terus bertanya, “Kapan ibu pulang?”
“Kenapa aku gak dikasih tahu dari dulu, Nek?”
“Mungkin kamu lagi ujian, Sep. Jadinya Bapak gak ngasih tahu, biar kamu konsen.”
“Hemm…,” aku akhirnya hanya diam termenung.
***
Kamis, 23 Juni 2011.
Beberapa hari dilewati dengan penuh rasa sedih, tegang, dan bimbang. Berbagai doa telah dipanjatkan. Berbagai usaha telah dilaksanakan. Hingga akhirnya tiba saat-saat penentuan. Hari ini Ibu akan dioperasi. Operasi yang akan menentukan hidup dan mati. Aku tak henti-hentinya berdoa dalam hati. Aku belum sanggup kehilangan Ibu. Aku belum bisa membanggakan Ibu. Aku belum bisa membahagiakan Ibu. Ya Allah, tolonglah Ibuku. Selamatkanlah dia.
Aku hanya menunggu di rumah. Aku harus menjaga adik-adikku. Aku tak ikut ke RSUD Garut tempat Ibuku dirawat. Yang kulakukan hanyalah menunggu dan menunggu dengan perasaan yang tak menentu. Berkali-kali aku hubungi Bapak, “Pak gimana?” Bapak hanya menjawab, “Belum, Sep,” lalu aku kembali menunggu.
Beberapa lama kemudian akhirnya Bapak yang menghubungiku lewat sms.
“Sep, Alhamdulillah. Ibu selamat. Adik kamu perempuan.”
“Wah, yang bener Pak?”
“Iya, Sep.”
Rasa lega memenuhi dada. Segala perasaan sedih, tegang, khawatir dan lain sebagainya hilang seketika. Berganti dengan perasaan haru dan bahagia. Desah syukur tak henti terucap dari tiap orang yang mengetahui kabar Ibuku. Akhirnya tidak sia-sia segala usaha dan doa. Semua berakhir dengan bahagia.
“Tapi Ibu masih kritis, Sep.”
Rasa khawatir kembali menyeruak. Ibu masih belum pulih. Aku kembali terus berdoa memohon kesembuhan untuk Ibu. Aku yakin Ibu akan sembuh. Aku harus yakin itu. Aku tidak boleh berpikiran negatif.
            “Tapi ibu pasti bisa sembuh kan, Pak?”
            “Iya, Sep. Doain aja!”
            “Adeknya entar dinamain siapa, Pak?”
            “Belum, Sep.”
            “Boleh gak, Pak kalau aku yang ngasih nama?”
            “Boleh aja, Sep.”
            Aku segera berpikir, mencari nama yang bagus untuk adik bungsuku yang baru lahir. Hingga akhirnya nama itu muncul di pikiranku. Segera jempolku bergerak cepat mengetik huruf demi huruf di ponselku.
            “Zahratussyita, Pak. Bunga di musim dingin.”
            “Wah, iya, Sep. Baguslah. Nanti Bapak pikirin lagi.”
            Zahratussyita. Aku memberikan nama itu untuk adikku yang baru lahir. Dia lahir di tengah rasa khawatir, rasa sedih, dan rasa tegang orang-orang di sekitarnya. Dia bagaikan bunga yang tumbuh indah merekah di tengah dinginnya musim salju. Itulah alasan mengapa kuberi nama adikku dengan, Zahratussyita. Bunga di musim dingin. Bahagia sekali rasanya karena aku dapat memberi nama adik terakhirku itu. Semoga saja kelak adikku itu benar-benar selalu menjadi obat dari setiap penderitaan, cahaya di tengah kegelapan dan tentunya menjadi bunga yang indah disaat udara dingin musim salju menyerang.
***
            Sabtu, 16 Juni 2012.
            Tak terasa tiga tahun sudah aku menuntut ilmu di Pesantren ini. Kini giliran aku dan teman-teman seangkatanku yang diwisuda. Aku kini duduk bersama calon wisudawan yang lainnya. Rasa bahagia kini memenuhi dada. Kulihat wajah-wajah temanku juga cerah bercahaya. Tak ada yang menunjukkan wajah yang murung. Semuanya senang. Semua riang. Begitu juga aku. Hanya saja di hatiku masih ada yang mengganjal. Orangtuaku tak bisa hadir. Ibuku sudah jelas tak bisa hadir karena repot mengurus adik-adikku yang masih kecil, terutama Dek Zahra. Tapi yang paling membuatku sedih adalah Bapak yang katanya ketinggalan kereta. Bapak memang selalu sibuk mengajar kesana kemari. Bapak juga sering diundang untuk mengisi acara-acara keagamaan. Bapak bilang sebelum berangkat ia harus menjadi penceramah di sebuah acara Rajaban. Tapi sayang sekali setelah itu Bapak terlambat datang ke stasiun. Jadilah Bapak tak bisa hadir disini. Aku sempat kesal. Aku sempat marah. Kenapa disaat yang penting begini Bapak justru tak bisa datang? Aku hanya bisa mengelus dada. Aku tak percaya akan ini semua. Akhirnya kupasrahkan saja semuanya, aku percaya ini semua telah diatur oleh Yang Kuasa.
            Acara sambutan-sambutan telah selesai. Kini saatnya acara pengumuman siswa berprestasi atau pengumuman para wisudawan terbaik. Aku berharap akulah yang mendapatkannya. Selama ini peringkatku di kelas memang tak pernah keluar dari lima besar. Tetapi paling tinggi aku hanya mendapatkan peringkat ke tiga. Susah sekali rasanya untuk mencapai peringkat ke satu atau dua. Ya, paling tidak aku berharap akulah yang mendapatkan peringkat ke tiga di jurusan IPA ini. Meskipun sulit karena di sekolahku jurusan IPA itu ada dua kelas, yakni kelas putra dan putri.
Pak Sholeh, guruku mulai membacakan nama-nama siswa yang berprestasi. Tibalah saatnya siswa berprestasi di jurusanku.
            “Peringkat ketiga jatuh kepada….. Muhammad Aulanida….!” aku menarik dan membuang nafas panjang. Rasanya pupus sudah harapanku untuk mendapatkan predikat wisudawan terbaik. Aku merasa tak mungkin aku mendapat peringkat kedua, apalagi pertama.
            Pak Sholeh kembali lagi mengumumkan, “Peringkat kedua jatuh kepada….. Asep Muhammad Saepurrohman…!!”
Aku terperanjat kaget. Apakah aku yang dipanggil? Apakah aku mimpi? Teman disebelahku memukul pundakku.
            “Maju cepet, Sep! Selamet ya…!”
            Aku tak percaya. Aku berhasil meraih predikat wisudawan terbaik peringkat ke dua. Aku segera berdiri, aku berjalan maju naik ke panggung diiringi dengan suara gemuruh tepuk tangan. Aku berdiri, berjejer di atas panggung bersama teman-temanku yang terpilih menjadi wisudawan terbaik lainnya. Kuedarkan pandanganku ke kanan dan ke kiri. Andaikan Bapak dan Ibu lihat, mereka pasti memandangku dengan penuh rasa bangga. Tapi sayang mereka tak hadir disini. Aku ingin segera memberitahu Bapak dan Ibu. Apalagi Ibu. Ibu pasti senang sekali melihat anaknya berprestasi. Aku ingat bagaimana ketika Ibu kritis di rumah s akit. Aku sangat merasa kehilangan. Untunglah Ibu akhirnya dapat kembali pulang dengan kesembuhan, bersama dengan adik bungsuku, Dek Zahra yang sangat kusayang. Aku bersyukur. Dari situlah aku termotivasi untuk lebih giat belajar. Aku terus berusaha untuk membanggakan Bapak dan Ibu. Aku tak lagi mengeluh karena banyaknya kesulitan yang menimpaku. Aku percaya bahwa dibalik kesulitan itu ada kemudahan. Aku yakin itu! Aku telah merasakannya!
***

Garut, 04 Juli 2012
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar