Rabu, 22 Februari 2012

Cerpen: DOA DOA CINTA

DOA-DOA CINTA
by : Asep M.S
 
            Dimanakah aku? Aku sungguh berada di tempat yang sangat indah. Tempat yang paling indah. Belum pernah aku menemukan tempat yang seindah ini. Aku berada di sebuah taman, atau…. Entahlah, yang jelas aku sangat senang berada disini. Rumput-rumput hijau yang terhampar luas dan tanaman-tanaman hijau yang menyegarkan mata. Bunga-bunga indah dengan berbagai macam warna dibuat menari-nari oleh semilir angin yang menyejukkan hati, seakan mereka sengaja menari-nari untuk menghibur hatiku yang gundah. Langit yang cerah juga pohon-pohon rimbun yang semakin membuat hatiku ini damai rasanya. Dan… oh sungguh aku tidak bisa menggambarkan lagi betapa indahnya tempat ini. Tapi dimanakah aku??
            Aku duduk sendiri di sebuah kursi kayu panjang berwarna putih. Pandanganku lurus ke depan melihat betapa indahnya pemandangan. Pikiranku kini melayang, sampai ada suara yang membuyarkan lamunanku.
“Nadya…”  ada yang memanggilku. Tapi siapa? aku menoleh ke sebelah kananku, dan alangkah  kagetnya aku karena di samping kananku sudah duduk seorang lelaki tinggi besar, berkulit putih dengan mengenakan pakaian yang serba putih pula. Dia memandangku. Wajahnya begitu putih dan bersih. Ohh diakah? ah tidak mungkin! pikirku.
“Ka.. Kakak?”  kataku dengan terbata-bata. Tidak salah lagi itu Kak Ihsan, Kakak kandungku yang paling kusayang. Tapi… bukankah Ia sudah meninnggal beberapa bulan yang lalu?
“Iya Nadya.. ini Kakak. Kamu gimana kabarnya Dek?”
“Kakak kemana aja? Aku kesepian gak ada Kakak. Aku sedih banget kakak pergi…” ku ucapkan kata-kata itu dengan mata berkaca-kaca, sambil memandangi wajah Kakakku yang putih bercahaya, hingga air mataku pun keluar, mengalir membasahi pipiku.
“Kamu gak boleh sedih dong Nad! Kakak gak apa-apa kok. Kakak bahagia malah sekarang. Jadi kamu gak usah sedih lagi mikirin kakak. Kan masih banyak orang-orang di sekitar kamu yang sayang sama kamu. Kamu harus tetap tersenyum, dan juga membuat orang-orang di sekitarmu tersenyum pula karenamu.”
“Tapi aku gak bisa Kak….”
“Pasti kamu bisa Nad. Kakak yakin itu. Kamu harus janji sama Kakak kalau kamu gak akan sedih lagi dan bikin orang-orang di sekitarmu bahagia?”
“Emmmh…. Ya deh kak aku janji.”
“Beneran ya?”
“Iya Kak..”
 “Ya sudah Kakak pergi dulu ya Nad. Kamu baik-baik yah ! Yang rajin belajarnya.”
“Lho Kakak mau pergi kemana lagi? Kakak jangan tinggalinku lagi dong Kak!”
“Gak apa-apa Nad. Kamu doain Kakak aja.” Kak Ihsan berjalan pergi meninggalkanku. Semakin lama semakin menjauh.Sementara aku, entah kenapa badanku ini tidak bisa ku gerakkan.
“Kakaak…!!!” Aku hanya bisa berteriak sekencang-kencangnya. Tapi itu percuma, Kak Ihsan terus berjalan tanpa menengok ke belakang, seakan Ia tak mendengar teriakanku; Ataukah memang Ia tak bisa mendengar? Kak Ihsan terus pergi menjauh hingga mataku pun tak mampu lagi menangkap keberadaannya. Kak Ihsan menghilang.
*****
Aku terbangun dari tidurku. Meninggalkan alam mimpiku dan kembali lagi ke alam sadarku.  Aku duduk sejenak mengumpulkan ingatan-ingatanku dan mengusap peluh yang keluar dari pori-pori kulit wajahku. Terlintaslah di benakku sosok Kak Ihsan, kakak kandungku satu-satunya yang sangat ku sayang. Ia sangat akrab denganku. Tapi sayangnya, kini aku tak dapat lagi bertemu dengannya. Ia sudah pergi. Pergi untuk selamanya dengan cara yang menyedihkan. Dan itu semua terjadi di depan mata kepalaku sendiri.
3 bulan yang lalu.
Jam pelajaran selesai dan siswa-siswi di sekolahku pun diperkenankan pulang. Seperti biasa Aku menunggu Kakakku menjemputku di depan gerbang sekolah. Dari kejauhan aku telah melihat Kak Ihsan mengendarai motor bebeknya menuju ke arahku. Tapi tiba-tiba hal yang tidak diinginkan pun terjadi. Saat Kak Ihsan ingin menyalip mobil di depannya, mobil itu menyenggol sepeda motornya hingga ia pun oleng dan terjatuh. Tidak selesai sampai disitu, sebuah mobil truk yang melaju kencang dari arah yang berlawanan menabrak kakakku dan sepeda motornya hingga tubuhnya terseret beberapa meter. Aku lihat itu.. Aku lihat!
Aku berteriak kencang lalu berlari menuju ke arah orang-orang yang sudah berkerumun mengelilingi seorang lelaki muda yang tergeletak lemah dengan tubuh berlumuran darah. Itulah Kak Ihsan, Kakakku. Oh… Kakak.. dalam hati aku menjerit. Aku tidak dapat lagi melihat wajah Kakakku yang tampan. Wajahnya kini hancur dan tertutup oleh lumuran darah. Dan akhirnya… Sebelum ambulan datang menjemput kak Ihsan, arwahnya sudah terlebih dahulu dijemput oleh sang malaikat pencabut nyawa. Kak Ihsan pun pergi dan tak akan kembali tuk selamanya.
Kalian tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kalian sayang untuk selamanya? Sakit. Sangat sakit rasanya. Itulah yang kurasakan saat ini. Beberapa hari setelah kejadian itu aku hanya bisa menangis dan menangis. Terlalu lama aku menangis hingga aku pun sadar kalau menangis itu tak ada gunanya. Malah menyiksa diri sendiri dan tak pernah membuat semuanya kembali. Kak Ihsan juga pasti tidak senang jika melihat aku terus-terusan menangis seperti ini. Akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah berdoa dan terus berdoa. Dan Aku yakin do’aku ini bisa mempermudah langkahnya menuju surga. Amin.
Setelah kepergian Kak Ihsan, Aku menjadi anak satu-satunya dari Ayah dan Ibuku. Aku sangat kesepian. Tidak ada yang bisa diajak bercanda di rumah ini seperti kakakku. Padanyalah aku sering mencurahkan isi hatiku dan meminta solusi atas semua masalah-masalahku. Ia juga sering membantuku mengerjakan tugas-tugas sekolah, mengantar dan menjemputku ke sekolah, juga melindungiku jika aku dalam bahaya. Sungguh aku kehilangan orang yang sangat berharga. Selamat jalan Kak Ihsan.
*****
 Lama kelamaan rasa kehilangan, kesedihan dan kesepian itu pun hilang, dan orang yang paling berjasa mengeluarkanku dari itu semua adalah Kak Rahman. Dia orang yang hebat. Dia sahabat terdekatku, kakak kelasku, bahkan sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri.
Kak Rahman orangnya luarbiasa. Dia sangat cerdas dan menjadi juara di kelasnya. Dia juga pintar dalam banyak hal. Hitung-menghitung, melukis, menulis artikel, pidato, semuanya ia kuasai. Hanya mungkin dalam bidang olahraga saja Ia lemah. Manusia tak ada yang sempurna memang. Tapi dimataku Kak rahman adalah orang yang sempurna. Dia sangat mirip dengan Kak Ihsan, kakak kandungku. Kak Rahman sering membantuku menghadapi berbagai macam masalah. Ia juga sering mengajariku pelajaran-pelajaran di sekolah, menghiburku ketika aku sedih, dan menemaniku saat aku kesepian. Beruntunglah aku bisa kenal dekat dengannya.
Banyak teman-teman perempuanku yang iri padaku. Mereka iri karena aku bisa dekat dengan sang bintang sekolah. Bahkan mereka mengira kami berdua pacaran. Padahal sebenarnya tidak. Aku tidak menyayangi Kak Rahman sebagai pacarku, tetapi sebagai sahabatku, bahkan kakakku sendiri. Jika berpacaran seringkali ada saatnya harus putus, maka persahabatan kami tidak akan putus. Susah senang, suka duka selalu kami lewati bersama. Itulah persahabatan sejati. Semoga.
Aku kini diliputi perasaan khawatir. Akhir-akhir ini Kak Rahman sering tidak masuk sekolah. Ia memang sering sakit. Dari pertama kenal dekat dengannya, aku sudah sering melihat wajahnya pucat dan sering pula kulihat Ia pulang sekolah lebih awal. Tapi ketika ku tanya sakit apakah dia, dia hanya menjawab dengan senyum manisnya dan berkata, “Gak apa-apa kok, cuma sakit biasa.”
Aku tahu sekali Kak Rahman bukanlah orang yang malas atau manja. Sesakit apapun dirinya, selama masih bisa berjalan, Ia akan tetap melangkahkan kakinya untuk berangkat ke sekolah. Tetapi kali ini berbeda. Kak Rahman sudah hampir dua minggu tidak masuk sekolah. Ia sakit dan di rawat di Rumah Sakit di luar kota. Rasa khawatir pun kini benar-benar merasuk memenuhi hati dan fikiranku. Sudah kucoba menghubungi Kak Rahman berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban darinya. Oh Tuhan sakit apa dia sebenarnya? Kenapa Ia tidak mau cerita padaku? Beribu pertanyaan kini hadir memenuhi fikiranku. Aku tidak bisa tinggal diam!
Saat ini aku berada di Rumah Sakit tempat Kak Rahman dirawat. Tepatnya di depan sebuah ruangan  dimana Kak Rahman sedang terbaring lemah di dalamnya ditemani seorang dokter. Aku duduk berdua bersama Ibu Kak Rahman. Kulihat wajahnya jelas sekali menampakkan kesedihan. Dengan hati yang tidak menentu, ku tanyakan kepada Ibunya sakit apa Kak Rahman sebenarnya. Ibunya menjawab, “Rahman sudah lama menderita penyakit jantung, Nak.” Seketika aku langung terperanjat kaget. Jawaban itu seperti petir yang menyambar dadaku, hingga hatiku  pun hancur berantakan dibuatnya. Aku terdiam tidak bisa bicara apa-apa lagi, dadaku sesak seakan ditindih sebongkah batu besar. Akhirnya Ibu Kak Rahman lah yang lanjut bercerita.
“Sudah hampir tiga tahun Rahman menderita penyakit itu. Tapi waktu itu Ibu belum punya cukup biaya untuk operasi. Tapi sekarang tak ada pilihan lain, Nak. Tabungan Ibu mungkin sudah cukup untuk membiayai operasi Rahman. Jika tidak, dokter bilang umur Rahman… tidak akan lama lagi....” Ibu Kak Rahman bercerita sambil menangis. Aku pun juga sudah tak kuat membendung air mataku.
“Ibu.. asal Ibu yakin dan terus berdoa, Kak Rahman pasti sembuh Bu. Yang menentukan hidup mati seseorang itu Allah Bu, bukanlah dokter..”
“Iya, Nak.. Terima kasih sudah mengingatkan Ibu.” Ibu Kak Rahman menghapus air matanya.
Akhirnya seorang dokter keluar dari kamar pasien dan mempersilahkan  aku dan Ibu Kak Rahman masuk. Dokter juga bilang kalau Kak Rahman sudah bisa diajak berkomunikasi lagi. Kami berdua pun masuk dan langsung disambut oleh Kak Rahman dengan senyum manisnya. Wajahnya sangat pucat dan badannya pun kulihat semakin kurus dan lemah. Tapi dalam keadaan seperti itu Ia masih bisa tersenyum. Bahkan Ia juga yang meyakinkanku kalau Ia pasti sembuh. Oh Kak Rahman, kau orang yang luar biasa.
*****
Sungguh sebuah kenyataan yang menyedihkan. Kenapa ini harus terjadi kepadaku? Disaat aku sudah menyayangi Kak Rahman seperti kakakku sendiri, aku harus menerima kenyataan kalu ternyata Kak Rahman punya penyakit jantung yang membahayakan jiwanya, dan hidup matinya akan dipertaruhkan tiga hari lagi, yakni hari dimana Ia akan dioperasi. Apakah aku harus kehilangan orang yang spesial untuk kedua kalinya? Tidak! Aku tidak mau lagi. Aku tidak boleh berpikiran negatif. Aku harus berbuat sesuatu untuk Kak Rahman. Ia pasti sembuh!!
Tiap waktu, tiap menit, tiap detik aku selalu berdoa untuk Kak Rahman.  Setiap selesai shalat fardhu, aku tidak pernah lupa berdoa untuk kesembuhan Kak Rahman. Bahkan aku rela untuk bangun malam melaksanakan shalat tahajjud dan mengirim doa untuk Kak Rahman. Teman-temanku semuanya aku beritahu dan ku ajak mereka untuk mengirim doa al-Fatihah untuk Kak Rahman. Aku usulkan kepada pengurus OSIS juga untuk mengadakan doa bersama dan mengadakan penggalangan dana sosial. Guru-guru pun ikut pula membantu untuk Kak Rahman. Semuanya berdoa untuk kesembuhan Kak Rahman. Semua menyayanginya dan tidak ingin kehilangan dia.
Segala upaya telah dilakukan sekuat tenaga. Segala doa telah dipanjatkan. Hingga sekaranglah detik-detik penentuan. Disaat segala usaha lahir batin sudah terlaksana, barulah kini saatnya untuk bertawakkal kepada-Nya. Sekarang ini aku pasrahkan segala keputusan pada-Nya. Hari ini Kak Rahman akan dioperasi. Hari ini pula aku tidak masuk sekolah karena tidak enak badan. Aku hanya menghabiskan waktu di kamar. Di fikiranku kini hanya ada satu nama, Kak Rahman. Perlahan air mataku ini keluar, hingga semakin lama semakin deras. Aku menangis. Kenapa ini harus terjadi? Kenapa harus dia? Ohh Tuhan.. sembuhkanlah Kak Rahman.
Aku bangun dari tidurku karena mendengar handphoneku berdering. Ada yang menelponku. Aku pun langsung mengangkat telpon tersebut yang ternyata dari Ibunya Kak Rahman. Ia bilang kalau ternyata operasinya berhasil dengan ajaib. Sekarang kak Rahman sudah mulai sadar dan hal pertama yang ditanyakannya adalah aku. Ohh Tuhan terima kasih.. Berkali-kali syukur ku ucapkan. Sekarang aku menjadi orang yang paling bahagia sedunia. Rasa sakitku pun hilang seketika. Ternyata Allah  mengabulkan doa-doaku selama ini.
Aku seketika langsung bangkit dan bersiap-siap untuk pergi ke Rumah Sakit tempat Kak Rahman dirawat. Seorang diri aku naik angkutan umum. Dan beberapa lama kemudian aku pun sampai di seberang Rumah Sakit. Oh.. Aku tidak sabar lagi ingin mengetahui keadaan Kak Rahman. Tanpa lmelihat kanan kiri aku langsung berjalan cepat menyebrang jalan. Tanpa kusadari sebuah mobil kijang hitam dari arah kiri sedang melaju kencang menuju ke arahku. Dan… Bruukk..
Aku berada di tempat ini lagi? Dihadapanku kini berdiri seorang lelaki tampan dan gagah dengan pakaian serba putihnya. Dia tidak lain adalah kakaku, Kak Ihsan.
“Ka..kakak?” kupandangi wajah Kak Ihsan yang putih bercahaya. Ia tersenyum.
“Ayo Nadya.. Sekarang ikut Kakak..!”
Tamat.
Di sebuah tempat yang indah
14 Februari 2012