Selasa, 20 Maret 2012

MEMOAR AKHIR TAHUN




            Kamis, 5 Desember 2019.
            Siang itu, matahari tanpa ampun memuntahkan panasnya kepada mahluk-mahluk di tanah ini. Orang-orang yang ada disini – baik pribumi maupun pendatang pun mengeluh kepanasan. Tetapi mereka punya cara tersendiri untuk mengatasi semakin panasnya suhu bumi karena global warming. Sekarang banyak orang yang memakai lotion pelindung anti sinar UV untuk melindungi kulit dari ancaman kanker. Ada juga disini yang memakai topi, payung, ataupun jaket ber-AC yang mulai menjamur di pasaran pada akhir tahun 2019 ini.
            Seorang lelaki tampan dan gagah dengan postur tinggi besar berdiri beberapa meter di depan pintu gerbang. Dia mengenakan jaket ber-AC buatan Jepang yang memiliki sepasang baterai di sisi jaket yang mampu menarik udara dari luar dan mengisinya ke dalam sehingga akan terasa sejuk ketika memakainya. Dia juga memakai peci putih, kacamata hitam, celana jeans biru, dan tas ransel di punggungnya. Dia adalah Muhammad Bambang Febrianto.
            Untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun, akhirnya Bambang kembali menginjakkan kakinya di tanah ini. Dia masih saja berdiri menghadap ke pintu gerbang. Dia melepas kacamata hitamnya, lalu pandangannya mengedar ke sebelah kanan, lalu ke sebelah kiri. Dilihatnya tempat ini semakin ramai saja. Setiap hari tempat ini memang dikunjungi oleh lebih dari dua ribu peziarah yang datang dari berbagai daerah, dari berbagai suku dan dari berbagai macam latar belakang. “Banyak yang berubah selama aku pergi,” pikir Bambang.
            Bambang melangkahkan kakinya. Dia berjalan melewati pintu gerbang, memasuki area pondok pesantren bersama rombongan-rombongan peziarah lainnya. Dilihatnya gedung-gedung megah nan indah yang berdiri kokoh disekelilingnya. “Benar-benar sudah berubah,” gumamnya dalam hati.
            Setelah sampai di tempat yang menjadi tujuan utama, Bambang mengambil tempat yang kosong diantara para peziarah lainnya. Dia duduk bersila dan mulai melantunkan doa-doa yang dia tujukan kepada para kekasih Allah yang jasadnya kini terkubur di dalam tanah di hadapannya. Di hadapan Bambang kini terhampar makam orang-orang yang hebat dan luar biasa. Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Wahid Hasyim adalah dua orang pahlawan yang sangat  dikaguminya. Apalagi kepada seorang Gus Dur. Seorang tokoh yang sangat diidolakannya dari dulu. Sejak pertama mondok, dia sangat ingin bertemu dan mencium tangan orang yang diidolakannya itu.
            Mata Bambang kini berkaca-kaca. Air mata yang tak terbendung lagi perlahan keluar, mengalir membasahi pipi putih bersih Bambang yang tak pernah berjerawat. Terlintas di benaknya kenangan-kenangan indah ketika dulu selama tiga tahun dia menjadi santri di Pondok Pesantren Tebuireng ini. Dia ingat kepada teman-temannya yang dulu selalu menemaninya dalam suka dan duka. Dia rindu kepada dua orang sahabat terdekatnya dulu, Hasan dan Imam. Mereka berdua adalah sahabat terbaik Bambang ketika nyantri dulu. Apalagi Hasan yang selama ini sudah Bambang anggap sebagai saudara kandung sendiri. Bambang dan Hasan selalu saling memotivasi, saling menasihati dan saling memberi. Baru tiga hari yang lalu Bambang menghubungi hasan menggunakan Video Call. Hasan memberi kabar bahwa dia dan Imam sekarang sudah sukses menjadi pembina dan pengurus Pondok ini. Bambang senang mendengarnya. Sementara Imam entah kenapa tidak dapat dihubungi oleh Bambang. Bambang sudah tak sabar ingin bertemu dengan kedua sahabatnya itu. Dia mempunyai segudang cerita yang siap dia bagi kepada mereka berdua. Tapi entahlah, sejak sehari yang lalu Hasan pun tak bisa dihubunginya.
***************
            Kamis, 24 Desember 2009.
            Bambang baru lima bulan menjadi santri di Pondok Pesantren Tebuireng ini. Tapi dia sudah merasa sangat betah mondok disini. Dia tahu bahwa Pesantren Tebuireng sudah terkenal sebagai penghasil orang-orang yang sukses. Banyak alumni-alumninya yang menjadi orang besar. Pesantren ini juga adalah satu-satunya Pesantren yang di dalamnya terdapat dua makam pahlawan nasional yakni KH. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahid Hasyim. Bambang juga tahu bahwa Pesantren ini sangat sering dikunjungi oleh orang-orang ternama. Imam pernah bercerita kepada Bambang bahwa dia pernah mencium tangan Pak Jusuf Kalla. Begitu juga Hasan yang mengaku pernah berfoto dengan Bapak Menteri Agama, dan banyak lagi cerita-cerita yang Bambang dengar dari kakak-kakak seniornya. Bambang senang mendengarnya. Apalagi jika ada yang bercerita tentang Gus Dur, cucu dari Mbah Hasyim yang sangat  diidolakannya. Pastilah dia sangat senang mendengarnya. Beliau adalah satu-satunya tokoh yang sangat Bambang ingin temui sekarang. Dan dengan Bambang mondok di Pondok Pesantren ini, kesempatan untuk itu kian terbuka lebar.
            Angin malam berhembus kencang. Membuat daun-daun pohon di depan Wisma Saifuddin Zuhri bergoyang-goyang. Langit malam terlihat indah dengan bintang-bintang yang berkilauan. Saat ini jam di dinding kamar SZ 305 menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Seluruh penghuni kamar ini sudah tenggelam di alam mimpinya masing-masing. Kecuali tiga sekawan yang sama-sama mempunyai hobi bercerita yakni Bambang, Hasan dan Imam. Mereka bertiga masih saja asyik ngerumpi ngalor-ngidul. Berbagai macam hal mereka bicarakan. Adakalanya mereka tertawa bersama, adakalanya mereka memasang wajah serius dan adakalanya pula mereka saling terdiam mencari bahan omongan lain.
            “Eh, Bang, Zak ke makam yuk!” ajak Hasan kepada Bambang dan Imam.
            “Wah malas aku kalau sekarang, San,” kata Imam.
            “Iya, San. Mataku juga sudah sangat berat. Tak tahan lagi aku menahan kantuk,” Bambang pun menolak ajakan Hasan seperti halnya Imam.
            “Huh kalian ini. Tidakkah kalian ingat kata ustadz-ustadz disini, jika kita ingin sukses menuntut ilmu di pondok pesantren ini, kita harus rajin-rajin berjama’ah, taat aturan pondok dan juga sering berziarah ke maqbarah, mendoakan para ulama’ kita yang sudah wafat?”
            “Ah, kau ini, San. Sudah tahulah aku. Sudah berkali-kali aku mendengar nasehat itu dari ustadzku. Tapi sekarang aku sedang malas, San. Kau sendiri saja lah!” kata Imam.
            “Iya, San. Hooammh,…,” Bambang lalu membaringkan tubuhnya di kasur.
            “Huh, ya sudahlah,” Hasan bangkit. Dia memakai sarung hitam, baju koko dan peci putih, lalu ia keluar menuju maqbarah. Sementara Bambang dan Imam mulai memejamkan kedua matanya di kasur masing-masing. Kamar ini berubah menjadi hening. Hanya suara detak jarum jam dinding yang terdengar.
            Pagi harinya.
            “Haha… menyesalah kau, Bang. Tahu gak semalam aku bertemu dengan siapa?” kata Hasan sambil menepuk bahu Bambang.
            “Ketemu siapa memang? Paling-paling kau ketemu dengan peziarah perempuan yang cantik. Iya kan?” celetuk Bambang.
            “Astagfirullah... Bukan lah, Bang. Aku bertemu idolaku, Bang. Idolamu juga.”
            “Siapa?”
            “Gus Dur, Bang. Aku bertemu Gus Dur!”
            Bambang terperanjat kaget, “Hah? Yang bener aja lu?
            “Iya, Bang. Billahi, aku tidak berbohong.”
            “Tapi… bukankah beliau sedang dirawat di Rumah Sakit?”
            “Iya aku tahu, Bang. Beliau semalam berziarah ke makam dengan menggunakan kursi roda bersama dengan serombongan orang yang mengawalnya. Di tangannya kulihat juga masih ada perban bekas infusan. Aku lihat langsung, Bang! Aku lihat!”
            Bambang terdiam. Lalu... plokk. Dia menepuk jidatnya sendiri. Garis wajahnya jelas menunjukkan rasa penyesalan dan kekecewaan. Padahal dia sangat ingin bertemu dengan idolanya itu, tetapi begitu kesempatan itu datang, dia menyia-nyiakannya. “Ah, alangkah beruntungnya Si Hasan itu. Kenapa semalam aku menolak ajakannya?” pikir bambang.
            “Tapi tenang saja, kawan. Beliau bilang akan kesini lagi seminggu yang akan datang,” Hasan sedikit menghibur Bambang. Seketika wajah Bambang pun berubah menjadi senang.
            “Benarkah itu, San?”
            “Iya. Beliau sendiri yang bilang.”
***************
            Selama seminggu Bambang hanya menunggu dan menunggu. Dia berpikiran alangkah bahagianya dia jika bisa bertemu dan mencium tangan Gus Dur secara langsung. Setiap hari dia terus memikirkan Gus Dur. Dia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Gus Dur. Dia senang membaca artikel-artikel dan buku-buku tulisan Gus Dur. Dia senang melihat Gus Dur tampil di layar kaca. Apalagi kini kesempatan untuk bertemu langsung sangat terbuka. “Takkan kusia-siakan lagi kesempatan ini,” pikir Bambang.
            Satu minggu telah berlalu. Hari ini hari Rabu, 30 Desember 2009. Setelah selesai menunaikan shalat Isya’ berjama’ah ditambah dengan shalat ba’diyah di mesjid, sebagian besar santri kembali ke kamar masing-masing. Begitu juga Bambang. Setelah sampai di kamarnya, dia langsung merebahkan badan di kasurnya, melemaskan otot-otot yang sejak sebelum subuh tadi terus-menerus dia gunakan untuk beraktivitas. Ya, memang harus begitu jika ingin menjadi santri yang baik. Setiap santri harus mengikuti setiap kegiatan yang diwajibkan oleh pengurus pondok. Dari mulai melaksanakan shalat tahajjud, mengikuti pengajian Al-Qur’an ba’da subuh, berangkat ke sekolah masing-masing, mengikuti pengajian diniyah dan kegiatan-kegiatan lainnya. Jika ada santri yang tidak mau diatur dan tidak mau mengikuti kegiatan di pondok pesantren ini, maka bersiaplah dia untuk disidang dan dihukum oleh keamanan.
            Bambang bangkit lalu duduk sejenak. Diraihnya sebuah buku yang ditaruh di rak diantara buku-buku dan kitab-kitab yang lainnya. Belum sempat dia membaca habis satu halaman buku, Hasan tiba-tiba masuk ke dalam kamar dengan tergopoh-gopoh lalu berteriak kepada teman-teman sekamarnya, “Rek, ada kabar duka!”
            “Apa, San?”
            “Innalillahi... Gus Dur… Gus Dur meninggal!”
            Semua anak-anak yang ada di kamar itu seketika terperanjat kaget.
            “Kau… yang benar saja, San!” minat membaca Bambang langsung hilang. Dia tutup buku ditangannya lalu dia letakkan di atas kasur.
            “Iya lah. Buat apa juga aku berbohong. Aku dengar sendiri dari Ustadz Arif, Bang,”
            Serasa ada petir menyambar yang membuat hati seorang Bambang hancur berantakan. Dadanya sesak, serasa ditindih seekor anak gajah. Badannya lemas seketika. Kedua tangannya memegang kepalanya yang sudah tertunduk lesu. Tidak hanya Bambang, teman-temannya yang lain pun sama. Bagi mereka kehilangan seorang Gus Dur adalah sebuah musibah besar. Terlihat jelas ekspresi wajah mereka menunjukkan rasa kaget, tak percaya, dan tentunya rasa sedih yang mendalam. Terutama Bambang. Seminggu memang telah berlalu, dan apa yang dikatakan Gus Dur seminggu yang lalu memang benar adanya. Beliau memang akan kembali lagi kesini, tetapi dengan keadaan yang sama sekali tidak Bambang harapkan. Bambang masih berharap kalau ini semua hanya bohong. Ini tidak nyata. Tetapi tak lama kemudian suara pengumuman dari pengurus yang terdengar ke seluruh penjuru pondok membuat sisa-sisa harapannya sirna.
            “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun…Telah berpulang ke rahmatullah guru kita semua, KH. Abdurrahman Wahid…,” setelah mendengar kalimat itu, jadilah kini Bambang sebagai orang yang paling menyesal sedunia. Sirna sudah impian dan harapannya untuk bertemu Gus Dur secara langsung. Ternyata kesempatan itu hanya datang satu kali. Setelah ini kesempatan itu tak kan pernah datang lagi.
            Malam itu, malam penuh duka. Di Tebuireng ini sudah jelas semua orang berduka. Berita wafatnya Gus Dur sang Guru Bangsa dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Rakyat Indonesia pasti turut berduka karena kehilangan guru bangsanya. Pondok Pesantren Tebuireng kini disorot oleh berbagai media. Satu persatu mobil dari stasiun TV lokal maupun nasional berdatangan. Beberapa reporter dan kameramen turun dari masing-masing mobil. Mereka berlomba-lomba untuk meliput berita. Di dalam mesjid, seorang santri terus menerus melantunkan surat Al-Ikhlas dengan pengeras suara. Imam juga ada di dalam masjid bersama beberapa santri yang lainnya, mereka bergantian membaca surat Al-Ikhlas. Sementara di area pemakaman, segerombolan orang berkumpul. Mereka adalah pengurus pondok, santri, wartawan, juga masyarakat sekitar yang sengaja masuk ke dalam pondok. Bambang dan Hasan ada di antara mereka. Mereka berdua ikut membantu proses penggalian makam yang nantinya akan menjadi tempat peristirahatan Gus Dur yang terakhir.
            Setelah lubang makam selesai dibuat, Bambang berdiri terdiam sambil menatap kosong ke arah lubang tersebut. Dalam hati dia berkata, “Oh mimpikah aku? Nanti jasad Gus Dur akan ditempatkan disini. Di lubang yang sempit nan gelap dengan jasad yang hanya dibalut kain kafan. Lalu setelah jasad Gus Dur dibaringkan, lubang ini akan ditutup lagi . Tinggallah beliau sendirian di dalamnya. Dan akhirnya pupus sudah harapanku untuk bertemu dengannya. Aku takkan pernah lagi memiliki kesempatan itu. Tak kan pernah lagi!” Bambang mulai mengeluarkan air mata. Dia menangis, “Oh, kenapa dengan diriku ini? Kenapa ini semua terjadi? Kenapa waktu itu aku menolah ajakan Hasan? Kenapa kau ini Bambang?” Air mata Bambang mengalir semakin deras. Hasan menerobos kerumunan orang untuk mendekati Bambang.
            “Bang, ayo kita tidur! Badanku sudah pegal semua. Ini sudah jam satu lebih,” ajak Hasan.
            Bambang menghapus air matanya, “Ayolah,” Bambang akhirnya mengikuti ajakan Hasan.
            Bambang dan Hasan. Kedua sahabat ini berbaring di serambi mesjid dengan hanya beralaskan sajadah. Disamping mereka berdua ada Imam yang sudah dari tadi tertidur pulas disitu. Bambang dan Hasan terdiam menatap langit-langit. Surat Al-Ikhlas masih terdengar dilantunkan terus menerus oleh seorang santri di dalam masjid. Kedua sahabat ini termenung. Tenggelam dalam alam pikirannya masing-masing. Hembusan angin malam yang semakin kencang tak membuat mereka kedinginan. Sebagai santri mereka memang sudah terbiasa dengan hal seperti itu.
            “San, kau sudah tidur?” tanya Bambang.
            “Belum,” jawab Hasan sambil membuka kedua matanya kembali.
            “Kau tahu, San? Aku sangat menyesal tidak ikut denganmu waktu itu. Ahh, andaikan waktu bisa diputar kembali.”
            “Sudahlah, Bang. Tak ada gunanya kau terus menyesal. Jadikan ini semua pelajaran, Bang!”
            “Iya juga sih, San. Aku bertekad kuat sekarang,  San. Dua setengah tahun lagi aku mondok disini, aku akan berusaha keras. Aku tak akan membuang waktu dan kesempatan yang kupunya. Akan kugunakan waktuku ini untuk belajar, belajar dan belajar. Aku bercita-cita ingin menjadi orang besar seperi Gus Dur, San.”
            “Baguslah kalau begitu, Bang. Kau masih kelas satu. Masih baru. Masih banyak waktumu disini. Jangan kau sia-siakan waktumu itu. Kau beda denganku. Aku sudah kelas dua. Aku juga menyesal sekarang. Orangtuaku ingin setelah lulus nanti aku melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar, Kairo. Kau tahu kan? Untuk bisa kesana aku harus menghafal minimal lima juz Al-Qur’an. Tetapi sekarang juz Amma saja aku banyak yang lupa.”
            “Ya, kau juga jangan menyerah lah, San. Tidak ada kata terlambat. Masih ada satu tahun yang harus kau perjuangkan.”
            Hasan terdiam sejenak lalu berkata, “Iya, Bang kau benar juga.”
            “San, kita ini sahabat. Kau lah yang mengenalkanku kepada pondok ini ketika aku masih satu dua hari disini. Aku ini manusia, kau juga. Aku tak selamanya benar, kau pun juga. Aku ingin selama kita disini kita saling mengingatkan. Ketika aku salah kaulah yang membenarkanku, dan ketika kau salah, aku akan berusaha mengingatkan dan membenarkanmu. Gimana, San?”
            “Ya tentu saja. Aku setuju denganmu,” keduanya bersalaman. Lalu mereka kembali terdiam. Surat Al-Ikhlas masih terdengar merdu dilantunkan oleh seorang santri. Bambang dan Hasan memejamkan kedua matanya. Dua orang sahabat itu pun tertidur dengan lelapnya.
***************
            Kamis, 05 Desember 2019.
Bambang akhirnya selesai membaca doa setelah sebelumnya membaca surat Yasin dan tahlil. Dia tidak menyadari bahwa di samping kanannya sudah ada seorang lelaki yang sedari tadi duduk bersila sambil memerhatikannya. Lelaki itu mengenakan kemeja batik warna putih dan hitam, celana hitam dan tas jinjing warna hitam yang dia letakkan disampingnya. Lelaki itu tiba-tiba merangkul pundak Bambang dengan tangan kirinya. Bambang yang merasa kaget langsung menoleh ke arah laki-laki tersebut.
            “Kau? Masya Allah…. Imam?” kata Bambang dengan ekspresi wajah kaget sekaligus senang.
            “Kau Bambang kan?”
            “Iya ini aku, Mam. Oh bahagia sekali rasanya bertemu sahabat lama. Kemana saja kau? Kenapa sulit sekali aku menghubungimu?”
            “Iya, Bang. Aku juga sangat senang bertemu denganmu. Maafkan aku, Bang. Aku belum membeli HP lagi. HP-ku kemarin hilang dighasab orang.”
            “Oh, pantas saja. Aku kira kau sudah melupakanku.”
            “Ah, kau ini, Bang. Mana mungkin aku melupakanmu. Apa kabar kau ini? Aku sungguh tak menyangka. Tujuh tahun kau kuliah di Kairo, badanmu sekarang tinggi besar. Gagah sekali kau sekarang. Padahal dulu kau pendek dan kurus. Hahaha…”
            “Haha.. kau ini bisa saja, Mam. Disana setiap hari aku makan daging. Tidak seperti dulu aku disini, makan hanya berlauk tahu tempe, minum pun kadang hanya minum air keran jeding.”
            “Hahahaha…,” kedua sahabat itu tertawa.
            “Kau juga tambah tampan saja, Mam. Habis darimana kau dengan pakaian rapi seperti ini?” tanya Bambang.
            “Aku baru selesai mengajar, Bang,” jawab Imam.
            “Oalah pantas saja. Oh, iya ya Allah… Hasan! Bagaimana kabar Hasan sekarang? Tiga hari yang lalu aku menghubunginya lewat video call. Dia meminta oleh-oleh dariku. Aku sudah membawakan oleh-oleh khusus untuknya. Dan kau juga jangan khawatir, Mam. Aku juga punya oleh-oleh untukmu di tas ranselku ini,” kata Bambang sambil tersenyum dan menaikkan kedua alis matanya.
            Raut muka Imam berubah seketika. Bukannya menunjukkan rasa senang, tetapi menunjukkan rasa sedih. Imam diam termenung sejenak.
            “Mam? Kenapa? Hasan kemana, Mam?” tanya Bambang kepada Imam. Bambang menangkap sesuatu yang tidak beres dari raut wajah Imam. Perasaan Bambang mulai tidak enak.
            “Sehari setelah kau menghubunginya, dia pergi ke Pondok Tambakberas dengan sepeda motornya. Dia diundang menjadi pemateri dalam sebuah acara bedah buku di sana. Tetapi Tuhan berkehendak lain, Bang. Dia kecelakaan di perjalanan. Lalu… dia meninggal, Bang” jawab Imam. Pelan tetapi cukup jelas untuk membuat Bambang terdiam seribu bahasa. Lidahnya kaku. Jantungnya berdetak kencang. Badannya langsung lemas. Kepalanya tertunduk layu. Dia masih tak percaya.
            “Ka..kau yang benar saja, Mam. Kau berbohong kan? Ini semua tidak benar kan, Mam? Jawab, Mam!”
            “Tenanglah, Bang!” Imam memegang pundak Bambang. “Aku yakin Hasan mati syahid, Bang. Dia sempat dibawa ke rumah sakit. Aku dan beberapa pengurus sempat menjenguknya. Aku lihat kondisinya yang sangat menyedihkan. Waktu itu aku tak sanggup membendung air mata, tetapi Hasan sebaliknya. Dia tersenyum, Bang. Dia bahkan sempat menitipkan salam untukmu. Dia bilang bahwa kau jangan pernah menyesal karena kau tak sempat bertemu dengannya secara langsung lagi. Dia juga memintaku agar menunjukkan buku karangannya kepadamu. Kebetulan sekali buku itu sedang aku bawa,” Imam membuka tasnya lalu mengeluarkan sebuah buku dan memberikannya kepada Bambang. “Ambillah itu untukmu!” Bambang tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Dadanya sesak seakan ditindih sebongkah batu besar. Dia lihat buku itu. Judulnya, “Sukses di Dunia dan Akhirat”. Di pojok kanan atas buku itu tertulis jelas nama sahabatnya, M. Hasanuddin.
            “Itu pengalaman yang takkan kulupakan seumur hidup, Bang,” Imam melanjutkan ceritanya. “Aku melihat Hasan pada saat terakhirnya. Dia mengucapkan dua kalimat syahadat dengan fasih, lalu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Aku dan beberapa pengurus yang ada disana menangis, Bang. Hasan adalah orang yang hebat. Dia sudah membawa perubahan baik bagi pondok pesantren ini. Baru beberapa minggu kemarin dia terpilih menjadi pengurus terbaik. Aku dan semua pengurus pondok sangat merasa kehilangan. Dan aku tahu kau juga pasti begitu. Tetapi yakinlah, Bang. Hasan pasti bahagia disana. Dia pasti berkumpul bersama dengan orang-orang shaleh yang lainnya di alam sana.”
            Bambang hanya duduk terdiam. Kemudian dia mengangguk. “Ya, Zak. Kau benar.” Setelah itu keduanya saling terdiam. Pikiran Bambang melayang. Dia ingat bagaimana ekspresi Hasan ketika sudah lulus Aliyah dan dia gagal untuk melanjutkan pendidikan ke Al-Azhar, Mesir. Hasan tetap tersenyum. Hasan akhirnya menjadi pengurus di pondok ini. Tahun berikutnya giliran Bambang yang lulus. Hasanlah yang banyak berkorban dan membantu Bambang untuk dapat kuliah di Al-Azhar. Ternyata usahanya tidak sia-sia. Berkat bantuan Hasan, Bambang berhasil mendapatkan beasiswa kuliah penuh di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sebelum keberangkatan Bambang ke Kairo, Hasan pernah bilang kepada Bambang, “Yah.. Tidak apa-apalah bila kau tak terlalu baik. Tetapi jadikanlah generasi setelahmu menjadi lebih baik darimu,” Bambang ingat betul kata-kata itu. Dia simpan kata-kata itu dengan baik di memori otaknya.
            “Mam...,” kata Bambang sambil menatap mata Imam. Bambang kini tersenyum walaupun kedua bola matanya berkaca-kaca.
            “Apa, Bang?” tanya Imam.
            “Ya, kau benar. Aku tidak pantas sedih. Dia pasti lebih bahagia di alam sana. Berkumpul bersama dengan orang-orang shaleh yang lainnya.”
            Imam tersenyum, “Kita tetap harus mendoakannya!”
            “Ya, tentu saja. Dan kita juga harus meneruskan perjuangannya!” kata Bambang sambil mengepalkan tangan kanannya. Imam tersenyum dan mengangguk.
            Adzan dhuhur terdengar dikumandangkan oleh seorang muadzin di Mesjid Ponpes Tebuireng. Mengajak setiap muslim agar sejenak meninggalkan urusan-urusan dunianya untuk memenuhi panggilan Sang Maha Kuasa. Bambang dan Imam terdiam. Pikiran mereka melayang. Dalam hati Bambang berkata, “Ah, lagi-lagi si Hasan lebih beruntung dariku. Dia pasti sudah bertemu Gus Dur di alam sana.”
Tebuireng, 11-04-2012
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar